Pèncèng ternyata tidak main-main dengan kejengkelannya. "Saya lelah, gerah, sebah," katanya, "seperti ada lubang besar yang kosong di dada saya, dan kepala retak-retak, tidak bersambung sebagai suatu keutuhan..."
Gendhon dan Beruk yang semula senyum-senyum setengah mengejek, akhirnya mulai serius memperhatikan yuniornya ini. Mereka semua menyangka yang terjadi pada Pèncèng itu semacam situasi kalap, anarkhisme psikologis atau kelelahan mental belaka. Tapi ternyata ini persepsi intelektual dan kultural, meskipun Pèncèng bukanlah siapa-siapa.
"Kita diajari Simbah berproses memahami masalah-masalah besar Indonesia dan dunia. Sistem sosial, ideologi, demokrasi, pembangunan, kraton, negara, desa mawa cara negara mawa tata, semua hal yang besar-besar, yang hebat-hebat, global, internasional, perang asimeteris, peralihan peradaban... Tapi tidak ada manusianya. Yang ada cuma angka identitas, gerak-gerik robot, onderdil mesin aturan, boneka-boneka sistem yang tidak mudheng sangkan paran."
"Tidak ada manusianya bagaimana maksudmu?" Gendhon tanya.
"Bangsa kita ini bangsa mogol. Seperti buah kemampo terus, tak kunjung matang. Dalam bernegara, beragama dan membangun macam-macam lainnya seperti nasi nglethis tapi cepat wayu. Seperti mangga terlalu lama pencit-nya, tiba-tiba kemudian bosok sebelum matang. Kita ini gudel tak kunjung kerbau, kita ini cempé tak tahu bagaimana meng-kambing. Akal pikiran kita tidak pernah jangkep dan seimbang. Mental kita makin rapuh. Rasa makin hilang. Kawruh makin cethèk. Pandangan hidup awut-awutan, tujuan hidup blero..."
"Lho kok serem-serem, Cèng?" Beruk juga protes, "katanya kamu lelah dengan yang besar-besar, katanya kamu sebah pada masalah-masalah makro..."
Pèncèng seperti tidak mendengar apa-apa. Ia meneruskan gerundelannya. "Saya merindukan ada tokoh di Indonesia. Saya mendambakan ada orang besar di Indonesia. Saya membutuhkan ada pemimpin di Indonesia..."
"Seingat saya kamu pernah mengatakan bahwa Indonesia era sekarang ini adalah Indonesia terbaik dari yang pernah ada," Gendhon memotong, "Tokoh-tokoh berkeranjang-keranjang. Pemimpin-pemimpin melimpah ruah. Orang-orang besar pating tlècèk. Bahkan kita punya penggedhe
, setidak-tidaknya dua orang, yang dipuja-puji dan disembah-sembah sampai kadar yang para Nabi dan Rasul saja tidak pernah dipuja-puji sampai seperti itu. Tuhan saja tidak pernah dibela sampai nggetih
seperti dua pemimpin itu. Belum pernah terjadi di dalam sejarah ada tokoh yang dibela sampai tega menghina-hina manusia lainnya, tega hati dan kejam batin kepada yang berseberangan dengan tokoh pujaannya itu..."
"Siapa bilang," Pèncèng tidak peduli, "Saya tidak minta Nabi, pemimpin nasional, negarawan atau orang besar. Dari Indonesia canggih di jaman now
ini saya minta satu saja manusia setingkat, seotentik dan seistiqomah Mbah Basiyo..."***