JAKARTA (KRjogja.com) - Wacana penghapusan ambang batas untuk pencalonan presiden terus menggelinding. Tetapi tak semua fraksi di DPR RI mengamini wacana tersebut. PDI Perjuangan, Partai Golkar dan PKS, misalnya, terang-terangan menolak wacana penghapusan ambang batas presidensial menjadi nol persen.
Dalam kacamata politikus PDI Perjuangan Andreas Hugo Parera, calon presiden harus memiliki dukungan kualifikasi politik dari dukungan lebih dari satu parpol. "PDI Perjuangan melihat bahwa seseorang yang diusung menjadi calon presiden tentu harus mempunyai kualifikasi dukungan politik yang riil dari institusi demokrasi, dalam hal ini partai politik. Dukungan parpol yang signifikan dari parpol pengusung," kata Andreas Hugo.
Oleh sebab itu, Andreas mengatakan angka 20 persen sudah memberikan ruang kepada parpol dan bakal capres yang diusung. Jika tidak ada ambang batas, menurutnya dapat mengurangi kualifikasi dukungan terhadap capres dan cawapres yang diusung.
"Karena itu, angka 20% adalah angka yang cukup representatif untuk memberi ruang pada parpol maupun bakal calon yang akan diusung menjadi capres atau cawapres. Kalau tidak ada ambang batas yang signifikan, tentu akan mengurangi kualifikasi dukungan untuk capres atau cawapres yang diusung," ujar mantan aktivis GMNI tersebut.
Andreas menjelaskan, calon kepala daerah saja memiliki ambang batas. Maka itu, ia menolak penghapusan ambang batas presidensial. "Calon Pilkada saja ada ambang batas. Calon independen untuk Pilkada saja ada ambang batas. Masak calon presiden tanpa ambang batas?" ujar salah seorang juru bicara partai berlambang banteng tersebut.
Sikap serupa ditunjukkan Partai Golkar. Partai Beringin ini tegas tidak sepakat dengan wacana penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Menurut Ketua DPP Golkar Rambe Kamarul Zaman, usul itu tidak bisa diberlakukan. "Itu bagaimana kalau dia nol persen itu (partai baru) belum ketahuan," ujar Rambe.
Mantan Ketua Komisi Pemerintahan DPR RI ini menyebut hal itu tidak bisa diberlakukan. Apalagi jika pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) dilakukan serentak. "Di UUD kita kan disebutkan pencalonan presiden itu adalah sebelum pemilu dilakukan. Kalau pemilu yang dilakukan itu adalah pileg dan pilpres sama serentak, maka yang berlaku ya tidak nol persen," katanya.
Dalam pandangannya, pencalonan presiden biasanya mengacu pada pemilu sebelumnya, sementara landasan yang digunakan pilpres sebelumnya tidak menggunakan dasar nol persen. "Iya, karena itu pencalonan dilakukan sebelum pemilu, yang mencalonkan siapa partai politik. Sebelumnya, dasar apa yang digunakan, kan tidak nol persen?," katanya.