SECARA khusus di tengah malam saya menyerat tiga anak angkat saya, Gendon, Pèncèng, dan Beruk, untuk naik ke leher Gunung Merapi. Pasukan khusus dan elite SAR-DIY saya minta mengantarkan dan mengawal kami, sebab mustahil saya dan anak-anak bisa sampai ke sana tanpa bantuan mereka.
Kami berhenti di suatu titik, duduk di sekitar semak-semak. Anak-anak saya persilakan duduk bersila, berjajar, menghadap ke selatan, mengarahkan pandangan jauh ke depan.
“Dari tempat duduk kita iniâ€, saya omong kepada mereka, “semua arah di jagat raya ini serba remang, ada banyak sosok-sosok makhluk, tetapi samar-samar, wujudnya bercampur dengan bayangan-bayangan wujud yang terdapat di dalam rekaman urat saraf otak kita sendiri, yang kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman budaya, pengetahuan, dan ilmu kita selama ini.â€
Saya berdiri mondar-mandir. Gendon, Pèncèng, dan Beruk saya benahi cara duduknya, gravitasi jasadnya, ketegakan tulang punggungnya, irama napasnya, serta patrap batinnya.
“Pandang lurus ke depanâ€, saya meneruskan, “jangan mengharapkan cahaya terang akan datang dari seluruh ruang yang kalian pandang. Cahaya hanya bisa kalian terbitkan dari lubuk kedalaman jiwa kalian sendiri..â€
Anak-anak madhep mantep.
“Juga mana wujud nyata mana bayangan, mana kasunyatan mana khayalan, jangan andalkan objek-objek itu untuk menginformasikan kepadamu. Berangkatlah dari ‘ainulyaqin batinmu sendiri.
Sekarang temukan garis dari puncak Merapi di belakang ubun-ubun kalian, ke Tugu, jalur Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulyo, Pangurakan, Kraton yang dikawal depan belakang oleh dua Alun-alun, sampai ngGading, terus lanjut lurus ke selatan, menyentuh pantai dan teruskan sampai ke bangunan Kraton jauh di lepas pantai, yang mengambang bukan di atas air samudera, melainkan di tlatah kesadaran nilai dalam diri kalian sendiri…â€
Anak-anak angkat saya itu sangat khusyu menjalani panduan saya, meskipun saya tahu sebenarnya mereka tidak paham-paham amat. Gendon, Pèncèng, dan Beruk tidak pandai, tidak hebat, tidak juga lantip atau waskita. Tapi mereka selalu bersungguh-sungguh, tekun, dan ini yang terpenting, yang membuat mereka saya ambil sebagai anak-anak angkat: setia. Kesetiaan tidak diletakkan sebagai nilai primer di konstitusi, kurikulum Sekolah serta sistem ilmu apapun di kalangan kelas orang-orang pandai.