Krjogja.com - JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Budi Djatmiko dalam acara sinergitas peningkatan APK bermutu di Kampus Yarsi, Jakarta, (14/9) mengatakan Perguruan tinggi swasta (PTS) masih dianaktirikan oleh pemerintah.
"Kita tahu mulai dari bantuan anggaran hingga soal seleksi masuk perguruan tinggi. Budi mengatakan, di tahun 2019, dana kartu Indonesia pintar (KIP) yang diberikan pada PTS sangat terbatas. Dari kuota 150 ribu, PTS hanya mendapatkan 3 persen saja. Itu diskriminatif luar biasa dan bertahun-tahun pemerintah seperti itu,” ujarnya.
Baca Juga: Ketidakadilan Masih Ditemukan dalam Kerja Platform
Dia menjelaskan bantuan ini memang perlahan naik. Di tahun 2021 terjadi kenaikan hingga 60 persen dan 2022 mencapai 70 persen dari kuota. Namun, menurutnya, itu pun diberikan usai protes-protes yang disampaikan oleh pihaknya. Padahal untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) di pendidikan tinggi, harusnya bantuan lebih banyak dialokasikan untuk PTS. Mengingat, biaya pendidikan di PTS rata-rata hanya sebesar Rp 1,7 juta per semester.
Sebab, sejatinya, baiya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) justru lebih mahal. Dari data yang diperolehnya, jumlah mahasiswa tak mampu di PTN tak lebih dari 2 persen. Kebanyakan dari mereka merupakan orang mampu yang memang sejak awal sudah mempersiapkan diri masuk PTN dengan mengikuti berbagai bimbingan belajar. "Masyarkaat miskin mana mampu les. Karenanya, untuk meningkatkan APK, serahkan saja ke PTS. Alokasikan anggaran 75 persen ke PTS dan 25 persen PTN. Utamakan pada PTS yang kecil,” tuturnya.
Dia turut mengkritisi soal seleksi mandiri yang dilakukan oleh PTN. Menurutnya, KPK sudah mencium adanya kongkalikong mengenai seleksi mandiri ini namun sayangnya seolah dibiarkan oleh pemerintah.
Baca Juga: Harus Jaga Predikat Favorite di Halal Award 2023
Dalam kesempatan yang sama Wakil Bendahara II Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Muhammad Muchlas Rowi pun mengamini. Menurutnya, kondisi PTS tengah berdarah-darah. Apalagi, saat ini, tengah terjadi penurunan mahasiswa di seluruh PTS di Indonesia. ”Kami pun demikian, problemnya ada penganak-emasan,” katanya.
Salah satunya, soal seleksi mandiri. Dia mengeluhkan, bahwa seleksi mandiri, kuota dan waktunya seolah tak terbatas. tak ada transparansi besaran kuota untuk seleksi mandiri ini. Kemudian, waktu seleksi yang sangat panjang.
Hal ini berpengaruh pada penerimaan mahasiswa baru di PTS. ”Padahal PTS biasanya limpahan dari PTN. Kalau tidak dibatasi itu bagaimana nasib PTS,” ungkapnya. Sementara, lanjut dia, kondisi PTS saat ini sudah mengkhawatirkan. Sejumlah PTS bahkan sudah merubah sistem pembayaran SPP-nya. Tidak lagi model per semester tapi perbulan bahkan bertahap sesuai kemampuan mahasiswa. Oleh karenanya, pemerintah diharapkan bisa lebih perhatian pada PTS-PTS di Indonesia.
Baca Juga: Cegah Paham Radikalisme, Polres Sukoharjo Beri Penyuluhan Pelajar
Sedangkan mengenai kebijakan jalur mandiri pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di perguruan tinggi negeri (PTN) disebut tak ada salahnya dievaluasi apabila masih ditemukan persoalan dalam pelaksanaannya. Kenyataannya, jalur seleksi yang tak diatur dengan pasti batasan waktu pendaftaran dan kuotanya itu menimbulkan persoalan baru, yang membuat perguruan tinggi swasta (PTS) kesulitan.
“Mudah-mudahan ada perbaikan (dengan aturan baru). Tetapi jika masih terjadi lagi hal-hal yang mungkin belum seperti yang kita inginkan, tentu tidak ada salahnya tahun depan kita sempurnakan kembali,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian.
Rektor Universitas Yarsi, Fasli Jalal, mengatakan, pemerintah perlu menyadari apabila PTS tidak dipelihara, kemampuan yang PTS miliki bisa menurun, baik itu dari sisi mutu, jumlah, hingga kualitas riset dan pengembangannya. Penurunan kemampuan itu, kata dia, bisa menjadi kerugian bersama, baik PTN maupun PTS.
Fasli memberikan perbandingan kondisi PTS saat ini dengan dulu, ketika angka partisipasi kasar (APK) di PTS masih cukup besar. Saat itu, dengan APK yang cukup besar PTS masih bisa mengambil alih seluruh keperluan yang dimiliki, mulai dari membeli lahan dan gedung sendiri, merekrut pegawai sendiri sampai menyekolahkannya ke jenjang S2 dan S3 sendiri. Pun demikian dengan biaya operasional yang dikeluarkan dari kocek sendiri.