Krjogja.com - JAKARTA - Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar Rp 347,6 triliun atau sekitar 1,65 persen dari PDB. Defisit anggaran ini jauh lebih rendah dari APBN yang ditetapkan Rp 598,2 triliun atau 2,84 persen dari PDB serta lebih rendah Perpres 75/2023 yang mencapai Rp 479,9 triliun atau 2,27 persen dari PDB.
“Defisit anggaran tahun 2023, realisasinya hampir setengah dari original desain pada APBN 2023 dari Rp 598,2 triliun menjadi Rp 347,6 triliun dan Perpres 75/2023 yang mencapai Rp 479,9 triliun atau 2,27 persen dari PDB,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara paparan realisasi APBN 2023 di Jakarta, Selasa (02/01/2024).
Dikatakan, pada tahun 2023, penerimaan negara mencapai Rp 2.774,3 triliun atau meningkat 112,6 persen dari APBN 2023. Pendapatan negara ini terdiri dari penerimaan pajak mencapai Rp 1.869,2 triliun atau mencapai 108,8 persen dari APBN dan mencapai 105,2 persen Perpres 75/2023.
Dijelaskan, penerimaan pajak dari PPH non migas mencapai Rp 993,0 triliun atau 101,5 persen dari target APBN. Sedangkan PPN dab PPnBM mencapai Rp 764,3 triliun atau 104,6 persen dari APBN, dan PBB dan pajak lain mencapai Rp 43,1 triliun atau 114,4 persen dari ABPN.
Sementara untuk PPn migas mencapai Rp 68,8 triliun atau mengalami penurunan 11,6 persen dari APBN. Sementara pendapatan bea dan cukai mencapai Rp mencapai Rp 286,2 triliun atau 95,4 persen dari APBN.
Penerimaan cukai mencapai Rp 221,8 triliun atau 97,6 persen. Dikatakan, penerimaan cukai menurun dampak kebijakan pengendalian konsumsi rokok dan menjaga keberlangsungan tenaga kerja industri rokok.
Ditandai dengan penurunan produksi rokok mencapai -1,8 persen, terbesar dari golongan 1 turun -1,4 persen, meskipun produksi golongan 2 naik 11,6 persen dan golongan 3 sebesar 28,2 persen. Penerimaan cukai MMEA naik 0,4 persen, sejalan tumbuhnya jumlah kedatangan wisman dan industri pariwisata.
Untuk bea masuk, mencapai Rp 50,8 triliun atau 95,8 persen. Penerimaan bea masuk tidak setinggi tahun sebelumnya, disebabkan penurunan nilai impor -6,8 persen. Bea keluar mencapai Rp 13,5 triliun atau 68,3 persen dari APBN.
Penerimaan Bea Keluar ini tidak sesuai harapan, ini disebabkan turunnya harga CPO, di samping upaya hilirisasi produksi mineral yang berdampak menurunnya volume ekspor dan tarif bea keluar produk mineral.
Sedangkan belanja negara selama tahun 2023 mencapai 3.121 9 triliun. Setara 102,0 persen terhadap target APBN 2023 sebesar Rp 3.061,2 triliun atau 100,2 persen terhadap Perpres 75/2023 sebesar Rp 3.117,2 triliun.
Dengan rincian, belanja pemerintah pusat mencapai Rp 2.240,6 triliun dan belanja K/L mencapai Rp 1.153, 5 triliun dan belanja non K/L mencapai Rp 1.087,2 triliun.
Dikatakan, untuk belanja pemerintah pusat ini lebih efisien dibanding tahun 2022 lalu. Dimana tahun 2023 hanya Rp 2.240,6 triliun, sedangkan tahun 2022 sebesar Rp 2.228,0 triliun.
“Belanja pemerintah pusat ini terkoreksi 1 7 persen dari tahun 2022,ini untuk menjaga momentum pertumbuhan data beli masyarakat,” tegasnya.
Adapun keseimbangan primer APBN 2023 tercatat surplus Rp 92,2 triliun. Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Adapun pembiayaan anggaran tahun 2023 sebesar Rp 359,5 triliun. Sejalan dengan konsolidasi fiskal dan pulihnya ekonomi nasional, pembiayaan utang dapat diturunkan, dari semula target pembiayaan utang Rp 696,3 triliun dalam APBN dan Rp 421,2 triliun dalam Perpres 75 tahun 2023 menjadi Rp 407,0 triliun, serta turun 41,5 persen dari tahun 2022, dengan tetap menjaga keseimbangan antara biaya dan risiko utang.
"PPembiayaan APBN aman dalam mendukung kesinambungan fiskal dan konsolidasi fiskal dengan bauran pembiayaan utang maupun non utang yang optimal. Realisasi pembiayaan utang tahun 2023 turun 41,5 persen dibanding tahun 2022,” tegasnya. (Lmg)