KRjogja.com - SEMARANG - Pada kasus di Batam, majelis hakim praperadilan telah memerintahkan Gakkum KLHK menghentikan seluruh proses penyidikan atas tersangka pelaku pencemaran limbah berat.
Peluang petambak Karimun Jawa untuk terbebas dari perkara hukum yang dijeratkan aparat penegak hukum (gakkum) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terbuka lebar melalui gugatan praperadilan.
Majelis hakim praperadilan bisa memerintahkan dihentikannya penyidikan atas perkara pencemaran lingkungan jika tim gakkum dinilai keliru dalam menerapkan prosedur dan tata cara penyidikan serta tidak absahnya penetapan status tersangka.
Demikian ujar Praktisi sekaligus pemerhati masalah hukum alumni Universitas Indonesia, Horas AM Naiborhu SH, di Karimun Jawa, Minggu (12/5/2024) menyampaikan opininya perihal perkembangan kasus tambak udang Karimun Jawa, setelah mencermati informasi yang berkembang luas di masyarakat terkait penanganan kasus tersebut.
Baca Juga: Pulang dari Beli Rokok Dikeroyok Orang Tak Dikenal
Lebih lanjut mantan Ketua Bidang Hukum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), bersama pimpinan teras partai SRI Rocky Gerung dan Wimar Witoelar, memaparkan bahwa praperadilan memang lebih mempersoalkan pada aspek prosedur dan tata cara penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum.
Namun, lanjut Horas, praperadilan bisa juga memiliki konsekuensi pada dihentikannya perkara sesuai dengan substansi praperadilannya. “Jika praperadilannya mempersoalkan keabsahan penetapan tersangka dan dikabulkan oleh hakim praperadilan, maka perkara bisa dihentikan,” ungkap Horas.
Seperti diberitakan sebelumnya, aparat Gakkum KLHK telah menetapkan sebanyak empat petambak Karimun Jawa sebagai tersangka dalam tindak pidana lingkungan hidup. Tiga di antara keempat tersangka itu, yakni Sutrisno (50), Teguh Santoso (44), dan Mirah Sanusi Darwiyah (48), bahkan telah berstatus tahanan sejak 13 Maret 2024.
Gakkum KLHK menjerat para tersangka petambak dengan Pasal 40 Ayat 3 juncto Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) yang berisi larangan kepada setiap orang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam di kawasan Balai Tanam Nasional (BTN) Karimum Jawa.
Selain itu, Gakkum KLHK juga menjeratkan Pasal 98 Ayat 1 Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), perihal perbuatan yang berakibat terjadinya pencemaran air laut Karimun Jawa yang dinilai telah melampaui baku mutu, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara.
Dijeratkannya Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam bermula dari surat Kepala Balai Taman Nasional Karimun Jawa yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK pada 14 September 2022. Surat tersebut berisi permohonan agar Gakkum KLHK melakukan pengawasan kegiatan tambak udang di Karimun Jawa.
Langkah selanjutnya, Gakkum KLHK melaksanakan penertiban pipa inlet yang dipasang para petambak dari lokasi tambak sampai ke perairan Karimun Jawa, yang terbilang masuk dalam kawasan konservasi.
Pipa-pipa inlet yang berfungsi sebagai sarana menyedot air laut itulah yang dijadikan salah satu pintu masuk aparat Gakkum KLHK untuk menjerat para petambak sebagai tersangka.
Baca Juga: 117 Atlet Ikuti Kejuaraan Tenis Meja Pelajar Tingkat DIY
Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Budhy Fantigo, selaku orang yang mengawal kasus tambak udang Karimun Jawa, menilai bahwa penerapan Pasal 33 Ayat 3 UU SDA sangat lemah. Pasalnya, menurut Budhy, pada Pasal 31 Ayat 1 UU yang sama disebutkan bahwa di kawasan taman nasional sekalipun masyarakat tetap diberi ruang untuk melakukan kegiatan penunjang budi daya. Jika ditafsirkan dengan baik, maka pemasangan pipa inlet di perairan Karimun Jawa bisa dimasukkan sebagai bentuk kegiatan masyarakat untuk menunjang budi daya tambak udang.