KRJogja.com, JAKARTA - Meski pemahaman tentang pentingnya pengelolaan keuangan menunjukkan tren positif, namun kesadaran masyarakat terhadap asuransi masih belum menggembirakan.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks literasi keuangan meningkat menjadi 66,46% dengan inklusi mencapai 80,51%. Namun, di sektor asuransi, angkanya jauh lebih rendah dengan indeks literasi hanya 45,45% dan inklusi baru mencapai 28,50%.
Demikian mengemuka dalam media workshop Allianz Utama Indonesia bersama PT Reasuransi MAIPARK Indonesia (MAIPARK) bertajuk 'Jaga Aset, Jaga Bisnis: Asuransi Properti di Tengah Risiko Bencana', Kamis (2/10) melalui platform Zoom.
Workshop mendatangkan narasumber Strategic Planning & Risk Management Group Head PT Reasuransi MAIPARK Indonesia, Dr Ruben Damanik dan Direktur & Chief Technical Officer Allianz Utama Indonesia, Ignatius Hendrawan. Turut hadir mewakili Allianz Indonesia, Wahyuni Murtiani, Head of Corporate Communications Allianz Indonesia.
Media workshop ini dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman pentingnya asuransi properti sebagai bagian dari strategi manajemen risiko. Lebih-lebih Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia.
Baca Juga: Harga Pangan dan Perawatan Pribadi Picu Inflasi DIY
World Risk Report 2023 menempatkan Indonesia di peringkat kedua dari 193 negara paling rawan bencana, setelah Filipina. Posisi geografisnya yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik utama, yaitu Indo-Australia, Eurasia, Pasifik dan Filipina, membuat Indonesia rentan terhadap gempa bumi, erupsi gunung berapi, banjir serta cuaca ekstrim.
Menurut Ignatius Hendrawan, kesadaran terhadap asuransi masih rendah, padahal tanpa perlindungan yang tepat, kerugian akibat bencana dapat menghentikan aktivitas usaha secara tiba-tiba dan mengancam kesinambungan ekonomi.
Mengutip analisis Badan Pusat Statistik (BPS), Hendrawan menyebut, banjir menjadi bencana paling sering dengan lebih dari 1.400 kejadian sepanjang 2024 dan potensi kerugian ekonomi hingga lebih dari Rp 500 triliun.
Sementara itu, cuaca ekstrim dan kebakaran hutan diperkirakan menimbulkan risiko kerugian sekitar Rp 700-800 triliun. Belum lagi bencana gempa bumi. "Gempa Yogyakarta tahun 2006 menimbulkan kerugian Rp 29,1 triliun, sedangkan gempa Sumatera Barat tahun 2009 Rp 21,6 triliun," ujarnya.
Rangkaian kejadian itu, lanjutnya, menjadi pengingat nyata. Bencana dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dengan dampak yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengganggu kelangsungan dunia usaha dari skala besar hingga kecil.
Oleh karena itu, solusi yang tepat, kata Hendrawan melakukan proteksi menggunakan asuransi yang bukan saja menjaga aset fisik, tetapi juga menjaga kesinambungan bisnis dan stabilitas ekonomi.
"Allianz Utama berkomitmen meningkatkan literasi asuransi agar semakin banyak pelaku usaha menyadari pentingnya perlindungan ini," katanya.