nasional

Dosen UGM Sebut Ledakan di SMAN 72 Dipicu Respons Pribadi Pelaku

Sabtu, 15 November 2025 | 14:05 WIB
Ilustrasi seorang anak yang sedang mengalami perundungan (bullying) di lingkungan sekolah. (Sumber foto: Freepik)

Krjogja.com – YOGYA – Jagat maya sempat dihebohkan oleh insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) siang. Kepolisian memastikan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Meski begitu, sebanyak 96 orang dilaporkan mengalami luka-luka. 

Pasca insiden ledakan tersebut, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri bergerak cepat melakukan penyelidikan. Berdasarkan temuan awal, terdapat empat bahan peledak yang meledak di dua titik berbeda. Setelah penyelidikan lanjutan, Polri akhirnya mengantongi satu nama yang diduga sebagai pelaku peledakan di SMAN 72 Jakarta.

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana, mengungkapkan bahwa terduga pelaku merakit bom secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Ia menambahkan bahwa sang pelaku belajar cara merakit bom lewat tutorial yang ada di internet.

“Dirakit sendiri, dan pelaku mengakses melalui internet cara-cara merakit bom," ungkap AKBP Mayndra kepada wartawan, Selasa (11/11/2025).

Menanggapi insiden tersebut, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, AB. Widyanta, S.Sos., M.A., menilai peledakan di SMAN 72 Jakarta dapat dilihat dari dua perspektif, yakni sosiologis dan psikososial. Ia menjelaskan bahwa tekanan yang dialami seorang anak, dalam hal ini terduga pelaku, merupakan akumulasi dari persoalan sosial yang menumpuk, salah satunya tindakan perundungan (bullying).

“Sehingga yang dihidupi oleh dia itu rasa sakit hati, ada rasa amarah yang mendalam. Tetapi juga ada rasa keinginan untuk balas dendam. Implikasi yang bisa dilihat kan muncul agresivitas karena terstimulasi peristiwa bullying yang dialami sang anak,” ucap Widyanta di Fisipol UGM, Jum’at (14/11), dikutip dari laman resmi UGM. 

Lebih lanjut, Widyanta menambahkan bahwa tindakan ekstrem yang dilakukan oleh terduga pelaku merupakan respons murni, tanpa ada kaitannya dengan kelompok radikal atau ideologi tertentu. “Saya menilai ini murni reaksi personal terhadap kekerasan lingkungan, yang difasilitasi oleh teknologi digital,” terangnya. 

Dosen sekaligus pengamat UGM itu juga menilai bahwa insiden tersebut menjadi pembelajaran bagi keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan afeksi anak serta gagal melindunginya dari paparan internet yang berisiko. “Anak ini adalah korban, dan ia tumbuh dalam ekosistem yang mereproduksi kekerasan,” ujarnya.

Di akhir, Widyanta menegaskan bahwa kasus ini merupakan peringatan keras bagi seluruh pemangku kebijakan di dunia pendidikan untuk meninjau ulang sistem pendidikan di Indonesia.

Menurutnya, saat ini diperlukan pendekatan yang berfokus pada kesejahteraan keluarga, lingkungan belajar yang aman, dan literasi digital bagi kaum muda. “Dari kasus ini, anak ini adalah cermin dari sebuah cermin yang remuk, dan kita semua ini adalah cermin yang remuk juga”, tutupnya. 

Tags

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB