Penguatan Kitab Kuning sebagai Kurikulum Inti Pesantren
Pengasuh Ponpes Sabilul Hasanah, Dr. Ubaidillah Luai, M.Pd.I, menekankan bahwa kitab kuning tidak hanya warisan intelektual, tetapi juga “tulang punggung” kurikulum pesantren. Ia menggarisbawahi dua agenda besar yaitu Revitalisasi tradisi klasik yang relevan, dan pembaharuan untuk menjawab isu kontemporer seperti ekonomi, pendidikan, dan teknologi.
Ia memetakan tantangan nyata pesantren, mulai dari kompetensi bahasa Arab, metode pembelajaran yang konvensional, keterbatasan guru ahli, hingga minimnya integrasi teknologi.
Solusi yang ia tawarkan antara lain perlunya penguatan metode sorogan-bandongan modern, pelatihan guru, digitalisasi kitab, kurikulum integratif, dan pembentukan kultur akademik santri.
Baca Juga: Kemenkop Optimalisasi Simkopdes Data Terintegrasi dan Efisiensi Kopdes Merah Putih
Transformasi Pesantren Salafiyah dan Model Pesantren Kurikulum
Pendiri & Pengasuh Ponpes Nurul Huda Sukaraja, KH. Affandi, BA, memaparkan pengalaman Pesantren Nurul Huda Sukaraja dalam membangun Pesantren Kurikulum, yaitu integrasi antara pengajian kitab kuning dan pendidikan formal sejak 1980. Model ini berhasil menjadi ekosistem pendidikan yang melahirkan lembaga-lembaga dari jenjang dasar hingga universitas.
Ia menekankan tiga prinsip besar yaitu Allah sebagai sumber ilmu, keistimewaan pengajian kitab kuning, dan fungsi sosial pesantren dalam membina masyarakat transmigran Jawa.
Menurutnya, pesantren harus mampu menjadi ruang pendidikan transformatif yang meningkatkan solidaritas sekaligus mobilitas sosial masyarakat.
Baca Juga: Pupuk Indonesia Dukung KP3 Tindak PPTS Nakal di Yogyakarta
Dari keseluruhan diskursus, menguat sebuah kesadaran kolektif bahwa pesantren tidak hanya benteng moral bangsa, tetapi juga pusat lahirnya generasi pemikir, inovator, dan ilmuwan masa depan. Intelektualisasi Santri menjadi agenda strategis yang menuntut kolaborasi serius antara pemerintah, pesantren, perguruan tinggi, dan masyarakat.
Pesantren kini diposisikan bukan hanya sebagai penjaga tradisi, tetapi juga sebagai laboratorium peradaban—tempat lahirnya generasi yang memadukan kedalaman spiritual dengan keluasan pengetahuan modern, siap berkontribusi dalam lanskap global yang terus berubah.(ati)