KRjogja.com - ACEH - Setelah tujuh hari terisolasi total akibat banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Provinsi Aceh pada 26 November 2025, harapan akhirnya tiba bagi ratusan warga di Aceh Tengah. Tim relawan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Leuser Universitas Syiah Kuala (USK) bersama warga lokal berhasil menembus belasan titik longsor dan jalur ekstrem selama enam jam perjalanan darat. Aksi heroik ini sukses menyalurkan bantuan logistik pertama ke Desa Bergang, Karang Ampar, dan Pantan Reuduek (Pueting), yang merupakan kawasan paling parah terdampak dan sulit dijangkau.
Akses menuju ketiga desa di Kecamatan Ketol tersebut benar-benar lumpuh, tertutup tumpukan material longsor, batu-batu besar, dan batang kayu. Tercatat sedikitnya 14 titik longsor memutus total jalur, memaksa bantuan disuplai terbatas via udara atau sungai.
Pertaruhan Nyawa Demi Bantuan Logistik
Perjalanan yang ditempuh tim Mapala Leuser ini adalah kisah pertaruhan nyawa. Salah seorang relawan, Muslim Ruhdi, menuturkan bahwa untuk mencapai Desa Bergang dari Posko Tepin Mane, mereka harus melewati rintangan yang nyaris mustahil.
“Saya bersama Pak Dusun Julfikar, serta tujuh warga Bergang, berangkat dari Blang Rakal menuju KM 60. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki membelah hutan, menyeberangi sungai deras menggunakan sling darurat, tebing rawan longsor, hingga melintasi jembatan darurat yang dibangun dari tiang listrik tumbang,” ungkap Muslim Ruhdi, melalui siaran pers Kemendiktisaintek pada Sabtu (6/12/2025).
Jarak puluhan kilometer yang ditempuh dengan berjalan kaki memakan waktu berjam-jam dalam kondisi kelelahan. Kedatangan bantuan ini sangat vital, mengingat persediaan makanan, terutama beras, telah menipis drastis. Ratusan jiwa, termasuk puluhan bayi dan lansia, terpaksa bertahan hidup hanya dengan memakan pisang dan ubi, mengandalkan solidaritas antarwarga untuk berbagi sisa makanan.
Evakuasi Warga Rentan di Jembatan Rapuh
Selain penyaluran logistik, tim relawan juga memfokuskan upaya evakuasi terhadap warga paling rentan. Evakuasi mencekam terjadi di jembatan gantung Desa Bergang, satu-satunya akses yang tersisa namun kondisinya kian rapuh.
Dengan hanya bermodalkan sit harness (tali pengaman panjat tebing), tim relawan menarik keluar warga satu per satu menuju tempat yang lebih aman di Lampahan. Pemandangan mengharukan terlihat saat seorang tuna netra yang hanya memiliki satu tangan dituntun perlahan meniti jembatan di atas arus sungai yang liar. Ibu-ibu hamil, lansia berusia senja, dan balita-balita mungil pun dievakuasi di bawah ketegangan dan rasa cemas.
Kondisi di dalam desa semakin mendesak, terutama di sektor kesehatan. Tiga bidan dan satu perawat setempat melaporkan stok obat-obatan habis total. Situasi ini mengkhawatirkan karena ada warga yang sakit parah, belasan ibu hamil yang menanti kelahiran, ditambah duka mendalam akibat korban jiwa dan belasan rumah yang telah lenyap disapu arus sungai.
Proses penyaluran bantuan pun tak kalah heroik. Relawan dan warga harus memanggul beban logistik di punggung, menembus hujan deras dan kegelapan, bahkan terpaksa bermalam di perjalanan karena jalur yang terlalu berbahaya untuk ditempuh malam hari.
Bagi masyarakat, Mapala Leuser USK hadir sebagai satuan penyelamat taktis. Dengan bekal kemampuan mountaineering, navigasi darat, dan manajemen SAR, mereka mampu menembus jalur ekstrem. Kedatangan logistik ini bukan sekadar tentang makanan, melainkan tentang harapan. Kemendiktisaintek pun mendorong langkah cepat berbagai kampus di Indonesia dalam memberikan bantuan kesehatan, logistik, layanan darurat, hingga dukungan psikososial, sebagai wujud nyata kebijakan Diktisaintek Berdampak dalam percepatan pemulihan pascabencana.(Ati)