Ahli Hukum UGM Sebut Pilkada Serentak Jadi Pertama Sekaligus Terakhir, Ini Penyebabnya

Photo Author
- Kamis, 7 November 2024 | 13:45 WIB
 Dosen FH UGM, Yance Arizona saat memberikan pemaparan  ((Harminanto))
Dosen FH UGM, Yance Arizona saat memberikan pemaparan ((Harminanto))


Krjogja.com - SLEMAN - Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum (FH) UGM, yang juga Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Pandekha) FH UGM mengungkap bahwa pilkada serentak yang akan dilaksanakan 27 November mendatang bisa menjadi pertama sekaligus terakhir di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Yance saat berdiskusi dengan media di acara Sekolah Wartawan UGM, Kamis (7/11/2024).

Menurut Yance, pilkada serentak menjadi kemajuan demokrasi Indonesia karena bisa menjadi sebuah efisiensi biaya, menciptakan stabilitas politik dan perencanaan pembangunan yang lebih baik. Hal tersebut karena jabatan para pemimpin mulai negara hingga kabupaten/kota hampir dilaksanakan serentak.

"Namun bisa jadi diubah, atau revisi menjadi tidak lagi pemilu, pemungutan suara serentak karena demokrasi bisa diartikan seperti itu. Upaya menggantikan pilkada langsung sudah terjadi saat masa SBY dahulu. Tapi protes publik besar mendorong pemerintah mengeluarkan Perppu membatalkan hal tersebut," ungkapnya.

Baca Juga: Dapur Umum Kemensos Layani Ribuan Pengungsi Erupsi Lewotobi

Namun menurut Yance, nada-nada mengarahkan pada pemilihan tidak dengan pemungutan suara serentak dipikirkan pula oleh elite politik dan partai politik. Hal tersebut dikatakan Yance karena mereka memikirkan cara efisien dalam memperoleh kekuasaan.

"Bisa jadi wacana yang dulu tersendat muncul kembali. Skenario untuk menggantikan politik elektoral beragam. Apakah gubernur tak perlu dipilih, apakan kepala daerah dipilih DPRD. Ini mungkin untuk dilakukan," tambahnya.

Meski begitu dari sudut pandang hukum, Yance menyebut bahwa pemilu saat ini sudah ideal untuk mewujudkan demokrasi, meski secara general terjadi kemunduran. Penegakan aturan hukum menjadi sangat penting untuk diwujudkan, demi mengembalikan demokrasi Pancasila di Indonesia berada sesuai pada jalurnya.

Baca Juga: Panduan Praktis Cara Memilih Salak yang Manis dan Matang Ideal

"Misalnya desain pidana pemilu dibuat lebih ideal, perlu task force atau Bawaslu berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polisi direkrut sebagai bagian Bawaslu. Mirip dengan KPK. Apakah perlu sampai ke penuntutan atau penyidikan saja, dipikirkan lebih jauh. Desain ini perlu dibuat karena saat ini belum maksimal adanya Gakkumdu," tandasnya.

Ketika penegakan hukum pemilu diperketat, upaya di luar aturan seperti money politics dan sejenisnya yang kerap menjadi alasan korupsi kepala daerah akibat biaya politik tinggi bisa diminimalisir. Hasilnya, masyarakat akan menemukan pemimpin berkualitas dan demokrasi kita tidak mundur.

"Sebenarnya tren kemunduran demokrasi tidak hanya Indonesia saja bahkan Amerika, ketika hari-hari ini Donald Trump menang. Bukan lagi karena ada intervensi misalnya dulu kudeta militer, kalau sekarang justru dari dalam. Orang-orang di dalam tak punya komitmen kuat yang justru membuat keropos. Di Indonesia, orang-orang yang harusnya membuat demokrasi tegak justru membuat rebah. Ini yang harus segera kita perbaiki," pungkasnya. (Fxh)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Tags

Rekomendasi

Terkini

Menteri Agama Luncurkan Dana Paramita bagi ASN Buddha

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:21 WIB

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

Unpad Bandung Juara I UII Siaga Award 2025

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:30 WIB
X