KRjogja.com - PENDIDIKAN Indonesia telah melalui banyak perubahan kurikulum sejak kemerdekaan 1947 hingga Kurikulum 2013 yang sering dipengaruhi oleh pergantian menteri. Setiap perubahan mencerminkan ambisi pemimpin untuk meninggalkan warisan; namun pertanyaannya, apakah setiap perubahan benar-benar mencerminkan idealisasi harapan? Secara imperatif, pendidikan mestinya dikelola dalam keniscayaan yang didasarkan pada fondasi filosofi yang kokoh, dengan tujuan mencerdaskan bangsa, membangun karakter, dan menciptakan individu yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, perubahan kurikulum yang sering, malah menjadi alat politik sesaat, seolah tak lebih eksperimen yang terombang-ambing oleh perubahan kekuasaan, dan menciptakan kebingungan.
Bayang-Bayang Kekuasaan dan Beban Ketidakpastian
Kurikulum pendidikan Indonesia sering kali dipengaruhi oleh pergantian kekuasaan, bukan kebutuhan nyata peserta didik, menciptakan ketidakstabilan dan merusak kredibilitas pendidikan. Seharusnya, pendidikan menjadi sarana pembebasan (conscientization)—meminjam bahasanya Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed membentuk individu yang cerdas, berkarakter, dan kuat. Namun, perubahan yang cepat dan tanpa kajian mendalam, acapakali hanya menciptakan siklus reformasi tanpa arah, mencerminkan lemahnya sistem pengambilan keputusan.
Guru dan siswa sering menjadi korban dari ketidakpastian sistem ini. Guru terpaksa beradaptasi tanpa pelatihan yang memadai, sementara siswa terjebak dalam eksperimen pendidikan yang tidak relevan. Pendidikan seharusnya menumbuhkan kepercayaan diri dan harapan, tetapi setiap kali ada momen perubahan, yang ada justru acapklai menumbuhkan kebingungan, frustrasi, dan kecemasan.
Kurikulum yang stabil bukan berarti tidak ada ruang untuk inovasi dan perubahan, tetapi ketika ada perubahan, mestinya lebih didasarkan pada dukungan paradigma mendasar yang diproyeksikan dalam dan jangka panjang, yang diolah dalam keseimbangan fleksibilitas berkelanjutan.
Kurikulum Abadi: Pelajaran dari Filsafat Pendidikan
Di tengah ketidakpastian perubahan kurikulum, kita perlu kembali pada esensi pendidikan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya—intelektual, moral, dan emosional. John Dewey melalui Democracy and Education, (1916) menyampaikan, “Education is not preparation for life; education is life itself’; mengingatkan bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, lebih dari sekadar persiapan untuk hidup. Kurikulum yang baik harus berakar pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kebebasan, dan solidaritas, serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Pendidikan harus relevan dengan tantangan global dan bertahan di tengah perubahan zaman. Namun praktiknya, perubahan kurikulum sering dipicu oleh tekanan politik tanpa visi jangka panjang.
Maria Montessori dalam bukunya The Absorbent Mind (1949) pernah mengingatkan, bahwa pendidikan sejati harus mampu melahirkan individu holistik, memberi ruang bagi siswa untuk berkembang lintas zaman; seperti yang dia katakan, “The greatest sign of success for a teacher is to be able to say, ‘The children are now working as if I did not exist.” Karenanya, pendidikan yang berlandaskan filosofi yang kokoh, dapat membimbing kita memproyeksikan masa depan dengan cahaya yang senantiasa dinyalakan.
Pendidikan yang baik harus menjadi fondasi kokoh yang menopang cita-cita bangsa, tanpa terperangkap dalam perubahan politik atau kebijakan yang angin-anginan; tanpa sama sekali mengurangi potensi adaptif fleksibilitasnya yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Seperti yang dikatakan Kant, dalam The Conflict of the Faculties (1798), “The greatest human endeavor is the development of reason through education.” Pendidikan adalah upaya untuk membangun akal budi kemanusiaan; dan kurikulum adalah cetak birunya sebagai salah satu jalan.
Karenanya, kurikulum harus dirancang dengan melibatkan berbagai pihak—guru, siswa, pakar pendidikan, dan masyarakat—untuk menjawab tantangan demi memastikan kesinambungan idealisasi nilai-nilai filosofi dasar awal yang dicanangkan dengan tantangan zaman. Kurikulum pendidikan yang abadi harus memberikan dasar pijakan orientasi yang kuat bagi potensi keterjalinan visi nilai-nilai yang diidealkan masa silam, sekarang, dan terutama adalah masa depan. Harapan, bagi keberadaan kurikulum baru, yang mungkin akan segera datang. (Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum., Guru Besar Fakutas Bahasa, Seni, dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta).