Ledakan Kunjungan Wisatawan ke Jepang Picu Ketegangan Pemerintah dan Penduduk Lokal

Photo Author
- Kamis, 13 Februari 2025 | 17:50 WIB
 ilustrasi kehidupan orang jepang  ((sumber pexels))
ilustrasi kehidupan orang jepang ((sumber pexels))


Krjogja.com - Tokyo - Jumlah turis asing di Jepang mencapai rekor baru, memicu ketegangan dengan penduduk lokal. Pemerintah kota dan operator pariwisata kini berusaha mencari solusi untuk meredakan konflik dan meningkatkan keharmonisan.

Meskipun industri pariwisata dan pemerintah nasional menikmati keuntungan ekonomi pasca pandemi, muncul ketidakpuasan dari warga yang merasa terganggu oleh kepadatan wisawatan di destinasi-destinasi utama.

Setidaknya Jepang menerima 36,9 juta turis internasional pada 2024, meningkat 47,1% dari tahun sebelumnya. Angka ini melebihi rekor 31,9 juta pada 2019, sebelum pandemi membatasi perjalanan liburan, dikutip dari DW Indonesia, Rabu (12/2/2025).

Penduduk di kota-kota "rute emas" seperti Tokyo, Kyoto, dan Osaka semakin geram dengan perilaku pengunjung yang sering melanggar adat istiadat dasar Jepang. Mereka mengeluh tentang sampah yang ditinggalkan, kepadatan transportasi umum, minum-minum di jalanan, dan gangguan akibat pesta hingga larut malam di properti sewaan.

Wisatawan yang Menimbulkan Masalah
Media Jepang melaporkan sejumlah insiden mengejutkan, seperti turis asal Amerika yang ditangkap karena mencoret gerbang kayu di Kuil Meiji Jingu, Tokyo, dan influencer asal Chili yang merekam dirinya melakukan pull-up di gerbang torii kuil Shinto. Selain itu, juga ada video orang asing menendang rusa di Nara.

Salah satu kota yang menjadi perhatian utama adalah Kyoto, yang terkenal dengan istana kekaisaran yang bersejarah, kuil-kuil, dan kawasan geisha di Gion.

"Masalahnya terutama disebabkan oleh konsentrasi wisatawan di tempat-tempat wisata utama, pada waktu-waktu tertentu dalam setahun dan waktu-waktu tertentu dalam sehari, yang berarti bahwa tidak semua daerah di Kyoto terkena dampaknya,” kata Toshinori Tsuchihashi, direktur jenderal pariwisata kota Kyoto.

"Konsentrasi cenderung terjadi selama musim bunga sakura di musim semi dan ketika dedaunan berubah warna di musim gugur, menyebabkan kemacetan di jalan-jalan di sekitarnya, di bus-bus kota dan masalah etika,” kata Tsuchihashi kepada DW.

Masyarakat setempat juga mengeluhkan bus-bus yang terlalu padat untuk dinaiki, turis yang merokok di jalanan, membuang sampah sembarangan dan perilaku buruk lainnya, tambahnya.

Guna menciptakan keseimbangan antara kehidupan warga dan wisatawan, Kyoto memperkenalkan Kode Etik Pariwisata untuk meningkatkan pemahaman dan rasa hormat. Beberapa inisiatif juga diluncurkan untuk mendistribusikan dampak pariwisata ke seluruh kota. Bus ekspres kini tersedia untuk mengantar pengunjung ke destinasi populer, mengurangi ketergantungan pada transportasi umum, sementara informasi multibahasa disediakan melalui situs web dan aplikasi.

Sejumlah kota di Jepang mencoba berbagai pendekatan, beberapa di antaranya menimbulkan kontroversi. Misalnya, pemerintah Himeji, rumah bagi Kastil Bangau Putih (Situs Warisan Dunia UNESCO), berencana menaikkan harga tiket masuk secara signifikan, tetapi hanya untuk turis asing. (*)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Tags

Rekomendasi

Terkini

Menteri Agama Luncurkan Dana Paramita bagi ASN Buddha

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:21 WIB

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

Unpad Bandung Juara I UII Siaga Award 2025

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:30 WIB
X