JAKARTA, KRJOGJA.com - Program Kartu Prakerja yang diluncurkan pemerintah pada April 2020 mendapatkan antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Mulanya, program ini direncanakan untuk menangani pengangguran di Indonesia agar mendapatkan pelatihan, baik untuk berwirausaha maupun upskilling sebagai bekal untuk mencari kerja.
Dalam situasi pandemi covid-19, pemerintah memutuskan untuk menggulirkan program Kartu Prakerja ini merangkap sekaligus sebagai bantuan sosial, utamanya bagi masyarakat tuna karya yang terdampak pandemi.
Namun, temuan Badan Pusat Statistik (BPS) justru bertolak belakang dengan tujuan program ini diluncurkan. Dimana mayoritas penerima Kartu Prakerja justru berstatus bekerja, yakni 66,47 persen.
“66,47 persen penerima Kartu Prakerja itu statusnya adalah pekerja. Sementara 22,24 persennya pengangguran, dan 11,29 persennya merupakan Bukan Angkatan Kerja (BAK),†papar Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto seperti dikutip, Jumat (27/11/2020).
Sebagai catatan, Kecuk menambahkan, dari penerima Kartu Prakerja yang masih bekerja, sekitar 63 persennya berstatus pekerja penuh.
Sisanya sebesar 36 persen merupakan pekerja tidak penuh atau bekerja di bawah 35 jam per minggu. Kelompok ini tergolong sebagai pekerja paruh waktu atau setengah pengangguran.
“Artinya income mereka sangat terbatas. Oleh karena itu bisa dimaklumi, meskipun statusnya mereka bekerja, mereka apply dalam program kartu prakerja," tukas dia.(*)