YOGYA, KRJOGJA.com - Muhammadiyah mendesak DPR lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP). Hal itu dilakukan dengan tidak memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU tersebut untuk kepentingan kelompok tertentu. Dalam situasi seperti sekarang, hendaknya mengutamakan persatuan, kemajuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu'ti menyampaikan hal itu dalam pernyataan sikap secara daring dari Kantor PP Muhammadiyah, Senin (15/6/2020). Sikap tersebut disampaikan Muhammadiyah terkait RUU HIP yang mendapat penolakan di mana-mana. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi UU," tandas Mu'ti yang didampingi pengurus PP Muhammadiyah, di antaranya Dr Anwar Abbas.
Pernyataan senada disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak semua isi RUU HIP. MUI menilai, RUU tersebut tidak dibutuhkan untuk dibahas di saat bangsa, negara dan masyarakat menghadapi pandemi virus Korona atau Covid-19. Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, sesungguhnya RUU HIP tidak dibutuhkan saat ini pada waktu negara sedang berupaya maksimal mengatasi masalah pandemi Covid-19. Seharusnya, semua RUU ditunda pembahasannya.
"Kita fokus pada upaya penyelamatan bangsa dan rakyat dari virus ini," kata KH Muhyiddin, kemarin.
MUI melihat RUU HIP bukan hal yang primer saat ini. Artinya DPR sudah salah memutuskan untuk tetap membahas RUU HIP. DPR adalah perwakilan rakyat seharusnya mereka memperhatikan aspirasi rakyat, DPR jangan punya agenda sendiri.
Menurut Muhammadiyah, DPR maupun pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya secara politik dapat menetapkan atau memutuskan apapun dengan mengabaikan aspirasi publik. Tetapi politik demokrasi juga meniscayakan 'checks and balances' serta agregasi aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai perwujudan jiwa dan semangat gotong royong dan permusyawaratan. Selebihnya secara moral segala bentuk kekuasaan harus ditunaikan dengan benar dan amanah karena bagi orang yang Berketuhanan Yang Maha Esa serta beragama semua amanat harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa," kata Mu'ti.
Muhammadiyah melihat, RUU RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, sehingga jika pembahasan dipaksakan dilanjutkan, berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontraproduktif dan membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir. Bahkan menurutnya, sudah harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa.
Mengutip kajian para pakar, MUI menyebutkan, RUU tersebut 'ngawur'. Sebanyak 80 persen isi RUU HIP kontradiksi dan 20 persen agak benar. Maka MUI bukan hanya menolak tidak dimasukkannya Tap MPRS Nomor XXV/ 1966 ke dalam RUU HIP. Tapi MUI menolak seluruh isi RUU HIP itu, karena satu sama lain saling kontradiksi dan secara tidak langsung mendegradasi Pancasila itu sendiri.
KH Muhyiddin menegaskan, Pancasila adalah landasan falsafah hidup bangsa Indonesia, jadi tidak perlu diundang-undangkan. Sebab, Pancasila sebagai sumber dari falsafah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.(Fsy/Obi)