Krjogja.com - Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah meminta orangtua membatasi penggunaan media sosial (medsos), terlebih bagi anak di bawah umur. Sebab, 7 dari 10 anak menggunakan medsos atau berselancar di internet hanya untuk bersenangsenang dan rawan ekspoitasi terhadap anak.
Dia menjelaskan orang tua mengizinkan anak bermedsos karena untik berkomunikasi dan membuka ilmu pengetahuian. Namun, banyak kerawanan atau dampak negatif penggunaan internet tanpa pengawasan bagi anak. Bahkan, laporan terbesar kasus anak yang diterima KPAI adalah pelecehan, korban fisik dan psikis, ketiga pornografi, keempat konflik hukum, kelima eksploitasi (khususnya di media sosial).
"Salah satu sumber masalah dalam hal ini adalah kurangnya pengawasan dari orang tua, kemudian negara harus mencari solusi mengatasi permasalahan ini dengan membantu meningkatkan tingkat literasi para orang tuanya," kata Ai Maryati.
Baca Juga: Cara Erwan Hendarwanto Tangani Para Pemain PSIM, Sentuh Sebagai Sesama Manusia
Sekretaris LKK PBNU itu juga berharap bahwa masyarakat Indonesia bisa mengendalikan teknologi komunikasi dan merefleksikannya secara bersamaan.
Sementara itu, Bagian perlindungan dan Tata kelola anak lembaga "Save The Children" Bagus Wicaksono menyebutkan beberapa hal yang membuat adanya kerenggangan di dalam keluarga. "Hal yang membuat keluarga merenggang yang pertama individualisme (mementingkan diri sendiri), kedua adanya gap interaksi, ketiga menurunnya keharmonisan, keempat kurangnya komunikasi," ungkapnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak sekarang adalah mereka kurang mendapatkan perhatian mengenai hal yang disukai olehnya dalam hal ini seperti hobi, penting bagi orang tua mengetahui dan mendukung apa yang dikehendaki oleh anak."Hal itu harus mengajak berbagai pihak pemerintah dan lainnya untuk mengetahui hobi dan mendukung yang menjadi kesukaannya hal ini bisa meningkatkan keharmonisan dalam keluarga," jelas Bagus.
Mengatasi Luka Batin Gen Z
Praktisi kesehatan mental Adjie Santosoputro menegaskan bahwa mengurangi ego antargenerasi dalam pola asuh dapat meredam konflik antara orang tua dan anak, juga konflik antargenerasi. “Untuk meredam konflik antargenerasi, kita perlu mewaspadai ego generasi. Generasi Z sering menganggap berbeda dengan generasi sebelumnya bahwa generasi tua itu kolot, sementara generasi tua menganggap generasi mereka lebih kuat dan lebih hebat. Ego antargenerasi ini menciptakan fragmentasi selama masing-masing generasi merasa lebih hebat,” tegasnya dalam bincang santai bertajuk Bincang Santai: Healing Journey: Cara Gen Z Mengatasi Luka Batin.
Lulusan Psikologi Universitas Gadjah Mada itu juga menegaskan bahwa selama ego antargenerasi itu terus berlanjut maka keakraban dalam pola asuh akan sulit terbentuk, sehingga penting bagi orang tua dan anak keluar dari ego antargenerasi.
Adjie juga menjelaskan kecenderungan orang tua yang menerapkan pola pengasuhan masa kecilnya sendiri yang sebetulnya tidak sesuai dengan zaman anak-anaknya yang sudah berubah.“Salah satu ketakutan manusia adalah perubahan, generasi orang tua tanpa sadar menganggap bahwa zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan zaman dahulu padahal percepatan perubahan zaman luar biasa cepat,” ujarnya.
Senada dengan Adjie, Kreator Konten @dialogue_positive Riza Abu Sofyan (Abu Marlo), menekankan pentingnya melatih kesadaran diri untuk menyembuhkan luka batin dan pola asuh yang tepat untuk meredakan overthinking. “Yang terpenting adalah memunculkan self awareness, dengan dilatih dan pola pengasuhan dalam keluarga juga sangat berpotensi besar dalam konteks luka batin, jadi kuncinya adalah kembali ke rumah,” tegasnya.
Abu Marlo juga menekankan pentingnya kesadaran diri untuk menyembuhkan luka batin dan di era dengan banyaknya informasi memudahkan mencari cara menyembuhkannya. “Akan selalu lebih banyak orang yang tidak mengerti kita dibanding mengerti kita, oleh karena itu ketika kita memiliki luka maka menyembuhkan luka adalah tugas kita sendiri,” katanya.
Abu Marlo menyampaikan pentingnya pemahaman dan pengetahuan mendalam mengenai spiritualitas pada generasi muda untuk memahami nilai kemanusiaan. “Orang tua kerap menyalahkan masalah anak pada kurang iman, padahal akarnya bisa jadi kurang pengetahuan, bukan kurang iman. Oleh karena itu, kesadaran spiritual dalam keluarga harus dipahami dalam konteks tradisi yang utuh, bukan sekadar kulitnya saja, ibadah bukan hanya untuk menghindari dosa atau neraka, melainkan jalan memahami nilai kemanusiaan,” terangnya.(ati)