Gelar 'Haji' yang Ternyata Hanya Ada di Indonesia, Simak Penjelasan Sejarahnya

Photo Author
- Sabtu, 13 Juli 2024 | 13:00 WIB
Asal-usul gelar Haji di Indonesia (pinterest)
Asal-usul gelar Haji di Indonesia (pinterest)

KRjogja.com - Setelah seorang Muslim kembali ke Tanah Air setelah menunaikan ibadah haji, gelar haji dengan bangga disematkan di depan namanya. Gelar ini tidak hanya mencerminkan pencapaian spiritual yang tinggi tetapi juga peningkatan status sosial dalam komunitas mereka. Dikutip dari halaman NU.or.id, perubahan ini terlihat dalam penampilan mereka yang sering kali menggunakan sorban, gamis, atau "kopiah haji".

Gelar "haji" memiliki makna yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia. Tidak hanya sebagai tanda bahwa seseorang telah menunaikan salah satu rukun Islam, tetapi juga sebagai simbol kehormatan dan keberhasilan pribadi. Tradisi ini sudah berlangsung lama, dan bagi banyak orang, memiliki gelar "haji" berarti mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari masyarakat sekitar.

Regulasi Kolonial: Mengontrol dan Membatasi

Pada masa kolonial Hindia Belanda, penggunaan gelar dan pakaian haji diatur dengan ketat. Berdasarkan Staatsblad nomor 42 tahun 1859, jamaah haji diwajibkan untuk mengajukan izin perjalanan sebelum berangkat dan melaporkan kepulangannya kepada bupati setempat. Proses ini termasuk ujian untuk memastikan bahwa mereka benar-benar menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

Bupati kemudian bertugas menguji para jamaah haji yang telah kembali. Jika terbukti benar, mereka akan menerima sertifikat yang mengesahkan gelar dan hak untuk mengenakan pakaian haji. Selain itu, calon haji juga harus membuktikan bahwa mereka memiliki dana yang cukup untuk perjalanan serta biaya hidup bagi keluarga yang ditinggalkan.

Pada tahun 1872, Residen Surabaya, van Deventer, mengusulkan pelarangan pakaian Arab atau pakaian yang dikenakan oleh mereka yang telah menunaikan haji. Van Deventer mendorong pemisahan ketat antara etnis dan bangsa, memaksa setiap kelompok etnis untuk mengenakan pakaian tradisionalnya sendiri. Usulan ini ditentang oleh Karel Frederick Holle, seorang Adviseur voor Inlandsche Zaken, yang khawatir akan menimbulkan keresahan dan protes di kalangan masyarakat pribumi.

Perspektif Snouck Hurgronje dan Kebijakan Kolonial

Seorang ilmuwan dan Adviseur voor Inlandsche Zaken, Snouck Hurgronje, memberikan kritik tajam terhadap peraturan tahun 1859. Menurutnya, gelar dan pakaian haji tidak perlu diatur secara ketat. Pembatasan ibadah haji, dalam pandangannya, hanya akan memberikan dampak negatif yang tidak diinginkan oleh pemerintah.

Snouck bahkan menyarankan agar gelar dan pakaian haji bebas digunakan oleh siapa saja, dengan harapan bahwa hal ini akan mengurangi keistimewaan simbol tersebut. Namun, Holle tidak setuju sepenuhnya dengan Snouck. Ia mengkhawatirkan bahwa kebudayaan Sunda akan terancam jika pakaian haji bebas digunakan oleh semua orang.

Kritik dari tokoh-tokoh seperti Holle dan Snouck tidak mengubah sikap pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Hindia Belanda tetap memutuskan bahwa hanya mereka yang lulus pengujian oleh bupati yang berhak menggunakan gelar dan pakaian haji. Namun, seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah jamaah haji, aturan pengujian ini akhirnya dihapus pada tahun 1902.

Pengaruh Kebijakan Terhadap Masyarakat

Peraturan ketat dan kebijakan pelarangan terhadap gelar dan pakaian haji pada masa Hindia Belanda mencerminkan upaya pemerintah kolonial untuk mengendalikan identitas budaya dan keagamaan masyarakat pribumi. Meskipun demikian, perdebatan yang muncul dari tokoh-tokoh seperti Karel Frederick Holle dan Snouck Hurgronje menunjukkan adanya dinamika yang kompleks terkait kebijakan ini.

Pada akhirnya, perubahan terjadi dengan dihapusnya aturan pengujian, memungkinkan penggunaan gelar dan pakaian haji yang lebih bebas. Kebijakan ini membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Muslim di Hindia Belanda. Mereka dapat merayakan identitas keagamaan mereka dengan lebih leluasa tanpa rasa takut akan pembatasan atau diskriminasi.

Saat ini, gelar "haji" masih memiliki makna penting dalam masyarakat Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, makna dan penerapannya juga mengalami perubahan. Penggunaan teknologi dan media sosial telah membuka ruang baru bagi para jamaah haji untuk berbagi pengalaman mereka dengan lebih luas. Gelar "haji" kini tidak hanya dilihat sebagai simbol status sosial, tetapi juga sebagai tanda tanggung jawab moral dan spiritual.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Jadwal Puasa Rajab 2025-2026 dan Bacaan Niatnya

Sabtu, 20 Desember 2025 | 18:40 WIB

Mengumpat Bisa Bikin Tubuh Makin Pede?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:40 WIB
X