Krjogja.com - Jamu, sebuah warisan tak terpisahkan dari budaya Jawa, terus membuktikan diri sebagai simbol kearifan tradisional yang mampu beradaptasi melintasi zaman.
Tradisi "njamu" atau meminum ramuan herbal dari bahan-bahan alami bukan lagi sekadar rutinitas menjaga kesehatan, tetapi telah menjadi cerminan cara hidup yang selaras dengan alam dan nilai-nilai luhur setempat.
Baca Juga: Auditor Internal Berperan Strategis Hadapi Korupsi Kolaboratif
Di tengah gempuran modernisasi dan tuntutan serba cepat, jamu tetap berdiri sebagai penanda kebanggaan lokal, bahkan di kalangan anak muda.
Jamu dibuat dari bahan-bahan dasar seperti kunyit, asam jawa, temulawak, jahe, dan kencur, yang diolah dengan cara tradisional. Proses penumbukan hingga perebusan ini diyakini menjaga khasiat dan cita rasa asli yang telah diwariskan secara lisan dan praktik.
Setiap racikan pun memiliki khasiat spesifik yang telah menjadi pengetahuan lokal secara turun-temurun. Kunir asem, misalnya, dikenal untuk kesegaran dan membantu memperlancar haid. Sementara beras kencur disukai karena mampu meningkatkan nafsu makan dan meredakan pegal.
Baca Juga: Ngaku Bisa Masukkan Menjadi Taruna Akpol Raup Rp 2,6 Miliar, Dua Oknum Polisi Dipecat
Menariknya, jamu berhasil melayani kebutuhan kesehatan lintas generasi. Remaja dan mahasiswa cenderung memilih varian yang fresh seperti kunir asem. Sementara kalangan dewasa fokus pada jamu untuk menjaga stamina.
Hal ini menunjukkan bahwa jamu bukan hanya artefak masa lalu, tetapi respons yang hidup terhadap kebutuhan kesehatan yang beragam.
Dalam beberapa tahun terakhir, jamu mengalami transformasi citra yang luar biasa. Jika dulu identik dengan minuman pahit yang dikonsumsi orang tua, kini jamu tampil dengan kemasan yang lebih estetik dan rasa yang lebih ringan. Transformasi ini menjadikan jamu relevan bagi Generasi Z.
Di berbagai platform media sosial, tren "jamu kekinian" muncul dalam bentuk konten membuat ramuan herbal hingga branding jamu sebagai bagian dari self-care dan gaya hidup sehat.
Minat Gen Z terhadap jamu ini membuktikan bahwa anak muda kita mulai mencari keseimbangan. Mereka ingin solusi kesehatan yang cepat, tetapi juga tidak mau meninggalkan akar budaya mereka. Jamu menjawab dilema ini dengan cantik.
Meski tantangan dari gaya hidup praktis tetap ada, minat terhadap jamu terus bertumbuh, terutama di lingkungan komunitas urban di Yogyakarta.
Minum jamu kini tidak hanya sebatas rutinitas, melainkan sebuah bentuk penghormatan dan re-affirmation terhadap tradisi, tubuh, dan alam. Dalam setiap tegukan, tersimpan kenangan tentang bagaimana masyarakat lokal merawat diri dengan cara yang sederhana, alami, dan penuh makna. (*)