Ia mencontohkan, di Jerman platform yang memuat konten negatif bisa kena denda sampai Rp6 miliar. Dan itu cukup efektif untuk mengerem keberadaan konten-konten negatif, terutama terorisme.
“Artinya, kalau platform tetap seenaknya dengan tidak melakukan screening, mereka pasti akan bangkrut kena denda.Saya rasa cara itu bisa diterapkan di Indonesia,†tuturnya.
Menurutnya, langkah ini harus menjadi agenda bersama misalnya apakah UU ITE yang direvisi atau dibuat Peraturan Pemerintah. Pasalnya, kalau tidak begitu, medsos akan menjadi tempat penyebaran konten negatif yang provokatif terutama radikalisasi.
Yunanto menilai, apa yang telah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan melakukan banyak take down atau penutupan website sifatnya hanya reaktif saja dan terkesan sering ketinggalan. Misalnya, yang di take down 10 website, yang muncul 100 website lagi.
“Kalau terus begini kita pasti keteter. Baiknya masyarakat berani mengeluarkan ide dan mengajak para politikus untuk membuat terobosan. Soalnya kalau yang melakukan pemerintah, pasti dituduh macam-macam. Intinya sekarang penyedia platform harus punya tanggungjawab,†tegasnya.
Ia menegaskan, bila penyedia platform bersedia melakukan screening terhadap konten-konten mereka, tentu itu akan lebih memudahkan dalam mewaspadai radikalisasi melalui medsos ini. Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator harus bisa memperkuat, apalagi sudah ada fatwa MUI soal tata cara bermedsos yang bijak.
“Kalau tiga-tiganya bersinergi Insya Allah bisa kita tekan cyber crime termasuk extre ordinary crime berupa Ideologisasi, radikalisasi, dan berbagai hal negatif di medsos,†pungkas Sri Yunanto.(*)