Kesan pertama yang buruk ini tidak hanya memengaruhi konversi, melainkan juga tingkat kepercayaan: seperlima (23%) dari 53% konsumen tadi mengatakan kepercayaan mereka terhadap kemampuan suatu brand menjamin keamanan dan data menjadi hilang akibat proses pendaftaran yang berbelit-belit.
Toleransi Tinggi, tapi Tidak Semua Puas Dengan AI
Konsumen Indonesia menunjukkan keterbukaan dan toleransi yang tinggi terhadap alat pendukung layanan pelanggan berbasis AI. Ada satu temuan yang membuat Indonesia benar-benar mencolok di antara negara lain di kawasan APJ: lebih dari separuh konsumen Indonesia (52%) mengatakan bahwa penerapan AI justru membuat mereka lebih sabar karena mereka “memahami bahwa AI dirancang untuk membantu, dan untuk itu diperlukan waktu lebih lama”. Ini sungguh sebuah sentimen yang amat positif, dan tingkat toleransi konsumen Indonesia ini jauh di atas rata-rata APJ yakni 30%, apalagi dibandingkan Jepang yang hanya 15% konsumennya memiliki pendapat sama.
Namun, toleransi yang tinggi ini tidak serta-merta berarti konsumen merasa puas. Dari begitu banyak konsumen Indonesia (78%) yang sudah pernah berinteraksi setidaknya sekali dengan alat layanan pelanggan berbasis AI, hanya 42% menyatakan puas. Sementara, 46% memiliki sikap netral, artinya bagi mereka pengalaman dengan alat AI ini biasa saja, tidak ada yang istimewa. Fakta ini dapat dipandang sebagai peluang bagi brand untuk memenangkan hati pelanggan dengan cara memperbaiki mutu interaksi berbasis AI, baik melalui percakapan suara maupun dengan chatbot.
Baca Juga: Borobudur Fish-Tival 2025 di Magelang, Ada Kontes Ikan hingga Bazar UMKM!
Masalah utama terkait agen AI yang paling sering dikeluhkan masih berakar pada fungsi dasar dan empati: konsumen mengaku paling frustrasi saat diberikan respons yang terbatas atau generik (39%), saat interaksi terasa terprogram atau robotik (37%), dan saat AI gagal memahami pertanyaan mereka (27%).
Meskipun memiliki toleransi tinggi terhadap AI, preferensi kuat terhadap koneksi manusia tetap ada. Hampir setengah dari konsumen Indonesia (42%) memilih untuk memulai percakapan langsung dengan agen manusia, meskipun itu memakan waktu lebih lama, terutama saat isu tersebut pelik atau sensitif (43%) atau berkaitan dengan keamanan atau privasi (37%). Hal ini mengindikasikan adanya ketergantungan kuat pada agen manusia untuk interaksi berisiko tinggi atau interaksi yang membutuhkan nuansa emosional.
Konsumen Tidak Mau Kompromi untuk Keamanan, dan Bersedia Membayar untuk Mendapatkannya
Keamanan dan perlindungan data muncul sebagai prioritas utama bagi konsumen Indonesia, bahkan kerap mengalahkan kecepatan layanan.
●Kesediaan Menunda dan Membayar: Sebanyak 75% konsumen Indonesia – tertinggi di kawasan APJ – bersedia menerima penundaan dalam pengalaman digital demi keamanan yang lebih baik. Lebih lanjut, 68% konsumen bersedia membayar lebih untuk peningkatan keamanan atau perlindungan data.
●Prioritas pada Keselamatan Data: Dalam interaksi digital, memastikan bahwa "data pribadi saya aman dan terlindungi" dinilai penting oleh 40% konsumen Indonesia. Temuan ini menyoroti kekhawatiran yang lebih tinggi dari rata-rata kawasan APJ (37%) mengenai keamanan dan keselamatan data.
●Kekhawatiran akan Akuntabilitas: Saat berinteraksi dengan AI, 37% konsumen Indonesia mengkhawatirkan akuntabilitas jika terjadi kesalahan, dan 34% khawatir tentang risiko privasi atau keamanan data.
Robert Woolfrey, Vice President, APJ, Communications di Twilio berkomentar, "Indonesia secara konsisten tampil menonjol sebagai salah satu pasar digital paling terhubung di dunia, berada di peringkat teratas secara global untuk adopsi media sosial dan seluler. Dari konsumen di negara ini, brand menerima hadiah berupa kesabaran dan keterbukaan terhadap teknologi baru seperti AI. Namun, konsumen juga memiliki tuntutan yang jelas akan keamanan dan pengalaman awal yang mulus, sebagai fondasi yang tidak dapat ditawar untuk membangun kepercayaan."
“Brand harus memanfaatkan AI untuk memberikan interaksi yang lebih jelas dan personal, sekaligus memastikan perlindungan data yang kuat. Tingginya tingkat keterlibatan dan toleransi digital ini menghadirkan peluang nyata bagi brand untuk membangun hubungan yang lebih empatik dan tepercaya dengan konsumen Indonesia," pungkasnya.
Laporan lengkap studi Twilio ini dapat diunduh di sini.
Metodologi
Twilio menugaskan YouGov untuk melakukan survei online terhadap 7.331 orang dewasa (berusia 18 tahun ke atas), termasuk 1.038 responden di Indonesia. Sampel survei dirancang untuk memastikan representasi yang merata di seluruh generasi, status perkawinan, dan distribusi geografis di setiap negara. Pekerjaan lapangan dilakukan dari 28 Agustus hingga 4 September 2025, di Australia, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Filipina, dan Singapura.