BANTUL, KRJOGJA.com - Kegiatan kepemudaan setelah reformasi tetap bergairah, hanya saja  orientasi organisasi kepemudaan bersifat pragmatis. Organisasi kepemudaan sebenarnya memiliki peluang memberikan keuntungan bagi penguatan modal, baik modal ekonomi, sosial, kultural bahkan modal kharismatik. "Barangkali tuntutan zaman milenial yang cenderung praksis dan konsumtif. Ini bukan sesuatu yang salah, hanya kegiatan kepemudaan yang mengarah pada upaya menyiapkan generasi yang tangguh secara idealistik di masa mendatang pun harus terus digairahkan," kata  Dr Dedi Pramono MHum, Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Desa Donotirto, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul, Rabu (09/03/2022).
Dijelaskan Dedi Pramono, Karang Taruna sebagai salah satu organisasi kepemudaan di kampung dalam beberapa dekade belakang sudah kurang terdengar lagi. Bahkan ada pemuda di suatu tempat, bahkan balik bertanya “Apa itu Karang Taruna?â€. Problem terbesar mulai memudarnya kegiatan kepemudaan di kampung amat banyak faktor yang menjadi alasan, hanya yang paling besar alasan tidak menginginkan hadirnya 'musuh' yang  kelak bisa membuat hidupnya tidak nyaman.
Berdasarkan problematika tersebut bersama mahasiswa KKNÂ Reguler UAD Angkatan 88 di Dusun Palangjiwan dan Gadingdaton diselenggarakan pengabdian masyarakat dengan 'Pelatihan Kepemimpinan di Era Milenial Pemuda Berbasis Dramaturgi' . Peserta yang hadir cukup menggembirakan di Palangjiwan sekitar 40 pemuda dan di Gadingdaton sekitar 25 orang pemuda. Dihadiri para tokoh masyarakat setempat.
Menurut Dedi Pramono, inti dari pelatihan kepemimpinan pemuda berbasis dramaturgi, yakni pertama, pemimpin harus selalu memunculkan 'action' yang memiliki daya tarik (dari sejak perencanaan sampai hasil yang akan diperoleh). Kedua, dalam 'action†pasti akan muncul tokoh antagonis (penentang), atau juga tritagonist (tokoh yang dapat bermuka dua) yang akan menghadirkan konflik. Kemunculan tokoh tersebut dan hadirnya konflik tidak dianggap sebagai 'bencana' (catasthrope), tetapi justru ditempatkan sebagai  alat bagi pemimpin agar 'permainan di organisasinya' lebih menarik.
Ketiga, Â pemimpin pemuda harus berposisi sebagai sutradara yang boleh menerapkan semua gaya kepemimpinan otoriter (bagi pemain pemula), demoktratis (bagi pemain senior), dan laissez faire (bagi pemain yang sudah merasa hebat). Gaya kepemimpinan tersebut dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi yang ditemui.
Keempat, sebagai mana dalam sebuah pementasan, akhir dari suatu 'action' bisa berakhir dengan 'happy end' atau 'sad end', kedua peluang tersebut harus dipahami sebagai bentuk kewajaran dari sebuah permainan dan patut dinikmati sebagai awal bagi 'action' selanjutnya.
Sedangkan Bima Yudhayana, Ketua Pemuda Palangjiwan memberi kesan pelatihan kepemimpinan secara rileks dan berwawasan luas seperti ini patut terus dikembangkan, sangat berbeda dengan pelatihan kepemimpinan yang pernah ada. Hal senada disampiakan juga oleh Ketua Pemuda Gadingdaton, Febri Sudiyanta. (Jay)