SLEMAN, KRJOGJA.com - Angka kemiskinan masih menjadi PR besar Pemerintah Kabupaten Sleman. Agar penanggulangan kemiskinan berjalan efektif dan tepat sasaran, diperlukan data tunggal. Sehingga nantinya tidak ada warga miskin yang tercecer maupun tumpang tindih dalam pemberian bantuan.
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sleman Muhammad Arif Priyosusanto SSi mengaku sedang melakukan pengawasan pelaksanaan Perda No 1 Tahun 2017 tentang penanggulangan kemiskinan. Perda itu sudah selayaknya untuk diperbaharui agar penanggulangan kemiskinan lebih efektif.
"Setelah kami mendengar dan menerima masukan dari masyarakat, perda itu perlu direvisi. Ada beberapa pasal yang perlu ditambah atau diperbaiki," kata Arif, Rabu (5/5/2021).
Menurutnya, angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data yang dimiliki Pemkab Sleman terkadang berbeda. Tentunya itu akan berpengaruh dalam capaian target pengentasan kemiskinan di Kabupaten Sleman. "Ada beberapa indikator yang menyebabkan data BPS dengan Pemkab Sleman berbeda. Padahal data ini sangat penting untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan," terangnya.
Untuk itu, Komisi D mendorong kepada eksekutif adanya data tunggal warga miskin dan rentan miskin. Dinas Sosial perlu koordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dan BPS. Dengan tujuan untuk menyamakan persepsi dalam pendataan warga miskin.
"Ketika indikatornya sama, otomatis hasilnya juga sama. Sehingga nanti akan muncul data angka kemiskinan di Kabupaten Sleman. Kalau nanti ada program bantuan atau penanggulangan kemiskinan, tinggal menggunakan data itu," papar anggota Fraksi Gerindra ini.
Dalam penataan warga miskin, Arif menyarankan ada perubahan indikator pada masa pandemi Covid-19. Salah satunya tempat tinggal jangan dijadikan patokan karena rumah dengan penghasilan bisa jadi tidak selaras. "Mungkin sebelum pandemi, warga itu memiliki penghasil atau pekerjaan. Tapi selama pandemi, bisa kehilangan pekerjaan yang bisa masuk kategori rentan miskin," saran Arif.
Hasil pendataan itu perlu diumumkan secara terbuka di masyarakat. Harapannya ada koreksi atau pengawasan dari masyarakat apakah layak masuk kategori miskin dan rentan miskin atau tidak. "Data kemiskinan harus transparan dengan cara diumumkan ke masyarakat. Kemudian setiap 6 bulan sekali harus diupdate untuk disesuaikan dengan kondisi terkini," ujarnya.
Dalam penguatan ekonomi warga miskin, sebaiknya pemerintah daerah tidak hanya memberikan modal dan ketrampilan saja. Namun juga diberikan pendampingan agar usaha yang dijalankan berkembang. "Jangan sampai cuma diberi pelatihan dan modal saja. Tapi diberikan pendampingan cara pengemasan, pemasaran sampai mereka benar-benar mandiri dalam segi ekonomi," katanya.
Disamping itu, perda itu juga perlu memuat pasal tentang peran serta masyarakat melalui gerakan filantropi atau kedermawanan atau gorong royong. Ketika ada warga miskin, warga yang mampu supaya peduli. "Itu perlu dimasukkan dalam pasal supaya peran serta masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan terikat di perda. Sehingga sifat gotong royong tumbuh di masyarakat," tutup Arif.(Sni)