Krjogja.com - PERUBAHAN iklim menjadi masalah bagi negara besar di dunia, termasuk Indonesia. Perubahan iklim bisa menimbulkan kerusakan di tatanan dunia. Bahkan, dapat menimbulkan gangguan bagi perekonomian dan stabilitas sistem keuangan melalui risiko fisik maupun risiko transisi.
Risiko fisik dapat bersifat akut akibat peningkatan intensitas dan keparahan cuaca ekstrem seperti badai, gelombang panas, banjir dan kekeringan. Sedangkan yang bersifat kronis, seperti kenaikan tinggi permukaan laut, kerusakan sumber daya hayati. Risiko transisi merupakan risiko yang muncul akibat perubahan preferensi investor, konsumen dan pembuatan kebijakan seiring dengan meningkatnya kesadaran atas pentingnya transisi menuju ekonomi rendah karbon. Indonesia termasuk salah satu negara dengan dampak perubahan iklim paling besar.
Cuaca ekstrim di Indonesia telah menyebabkan kerugian lebih dari Rp100 Triliun per tahun dan diperkirakan terus meningkat sampai dengan 40% PDB Indonesia pada 2050. Selain menimbulkan cuaca ektrim, perubahan iklim ini akan menghambat pertumbuham ekonomi nasional. Indonesia bakal menderita kerugian tahunan rata-rata sebesar 45 juta US Dolar antara tahun 2000-2019 karena bencana alam terkait iklim, dan kemungkinan besar akan tumbuh secara substansial. Para ahli ekonomi memprediksikan, dalam skenario emisi terlalu tinggi dan perubahan iklim terjadi, maka pertumbuhan PDB Indonesia dapat mencapai puncaknya yaitu 8.800 US Dolar per kapita pada tahun 2100. Melihat dampak yang luar biasa itu, harus segera dilakukan pencegahan nyata. Pertemuan tingkat internasional sebagai langkah konkret pencegahan dampak perubahan iklim telah banyak dilakukan.
Sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), berbagai langkah dan strategi perlu diupayakan seluruh pihak, termasuk perbankan. Salah satu aspek yang diupayakan perbankan dan memegang peran penting dalam mewujudkan visi tersebut adalah pembiayaan hijau. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa tujuan pembiayaan hijau adalah untuk meningkatkan aliran keuangan. Dari perbankan, misalnya, aliran keuangan dapat ditingkatkan melalui kredit mikro, asuransi, dan investasi kepada sektor publik, swasta, serta nirlaba agar dapat digunakan untuk prioritas-prioritas pembangunan berkelanjutan. Pada dasarnya, pembiayaan hijau diperlukan untuk membantu mengatasi permasalahan perubahan iklim. Lebih dari itu, pembiayaan hijau juga jadi modal untuk memitigasi bencana yang tak terprediksi pada masa depan.
Karena itu guna mendukung pembiayaan sekaligus memitigasi risiko sistemik dari perubahan iklim, UU PPSK memberikan mandat kepada Kementerian Keuangan, OJK dan Bank Indonesia untuk berkoordinasi mengembangkan keuangan berkelanjutan dan mendorong penerapannya bagi pelaku usaha. Dalam hal ini, kewenangan Bank Indonesia adalah mengatur dan mengembangkan keuangan berkelanjutan. Sebagai tindaklanjut UU PPSK, Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan dan OJK sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Komite Keuangan Berkelanjutan dan RPP Taksonomi Berkelanjutan. Terbitnya dokumen ini perlu diapresiasi mengingat Indonesia menjadi negara kedua di ASEAN setelah Malaysia yang mengeluarkan dokumen taksonomi hijau.
Bank Indonesia sendiri melalui kebijakan makroprudensial mengeluarkan beberapa kebijakan penting. Kebijakan ini memegang peranan penting dalam mengelola risiko keuangan terkait perubahan iklim. Pertama, perubahan iklim menimbulkan risiko sistemik pada skala global dan nasional, sehingga memerlukan pendekatan makrofinansial dalam pengelolaannya. Kedua, dampak risiko perubahan iklim memiliki lintasan waktu yang panjang dan sarat dengan eksternalitas. Kebijakan makroprudensial dipandang sebagai pendekatan yang optimal untuk memitigasi risiko keuangan terkait eksternalitas perubahan iklim dalam jangka panjang.
Bank Kunci Pembiayaan
Mengingat kemampuan APBN yang terbatas, sebagian besar pembiayaan perubahan iklim diharapkan bersumber dari sektor keuangan, khususnya bank. Sebagai sumber pembiayaan utama perekonomian Indonesia, bank diharapkan dapat memobilisasi pembiayaan ke sektor-sektor yang berkontribusi pada penurunan emisi nasional. Bank Indonesia terus melakukan penguatan kajian dan riset, berpartisipasi dalam knowledge sharing, serta secara proaktif menjalin koordinasi dengan otoritas terkait untuk mengawal inovasi dan sinergi kebijakan makroprudensial hijau. Guna mendorong keuangan berkelanjutan pada industri perbankan, Bank Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan makroprudensial bersifat insentif, antara lain:
1. Kebijakan Rasio LTV/FTV kredit/pembiayaan properti dan batasan uang muka KKB/PKB untuk mendorong pembiayaan properti berwawasan lingkungan dan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan. Pada tahun 2020, kebijakan ini diperkuat dengan pelonggaran rasio LTV/FTV bagi kredit/pembiayaan properti berwawasan lingkungan dapat diberikan sampai dengan 100% dan uang muka kredit/pembiayaan kendaraan listrik dapat diberikan sampai dengan 0% .
2. Kebijakan RPIM untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan. Melalui kebijakan ini, bank diberikan kelonggaran memenuhi kewajiban RPIM melalui pembelian Obligasi Berkelanjutan dan pemberian kredit/pembiayaan kepada PT. SMI selaku pengelola SDG Indonesia One.
3. Kebijakan Insentif Makroprudensial dalam bentuk pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro Rupiah bank di Bank Indonesia atas penyaluran pembiayaan terhadap sektor prioritas dan inklusif39 untuk mendorong peningkatan pembiayaan berkelanjutan yang diperluas dengan pembiayaan terhadap sektor hijau.
ilustrasi ekonomi dan kredit hijau
© 2023 https://assets.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/750x500/photo/krjogja/freepick
Melalui kebijakan insentif ini, bank sentral terus mendorong pendalaman dan perluasan keuangan hijau sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam hal ini, Bank Indonesia telah berkolaborasi dengan Kementerian Keuangan, OJK dan LPS dalam menyelesaikan climate stress test terhadap perbankan nasional serta berkolaborasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi melakukan asesmen dampak transisi perubahan iklim terhadap makrofinansial Indonesia. Lebih lanjut, Bank Indonesia juga terus menguatkan riset terkait ekonomi sirkular dan asesmen sektoral yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
Bank Indonesia juga mulai mendorong pengembangan UMKM hijau dalam rangka mendukung penguatan keuangan hijau yang diharapkan dapat menjadi kekuatan baru perekonomian Indonesia. Transformasi UMKM hijau diharapkan dapat semakin meningkatkan daya saing UMKM dan berkontribusi pada perekonomian di tengah meningkatnya perhatian atas perubahan iklim global dan permintaan terhadap produk yang eco-friendly. Dalam hal ini, telah disusun Kajian Model Bisnis Pengembangan UMKM Hijau dan framework kebijakan pengembangan UMKM. Model bisnis UMKM hijau Bank Indonesia mengklasifikasikan praktik hijau yang dilakukan UMKM menjadi 3 tahapan yaitu: Eco adopter, Eco-entrepreneur, dan Eco-innovator. UMKM hijau dinilai berdasarkan berbagai indikator hijau yang meliputi aspek: produksi, pemasaran, sumberdaya manusia, dan keuangan, berdasarkan tahapannya masing-masing. Indikator hijau dalam praktiknya ada yang bersifat mandatory dan complement.