Tak lagi menjadi pegawai, Ani kemudian melakukan hobinya yang lain. Yaitu memotret. Di lapak tempat sang kakak berdagang batik di Bantul, ia diminta untuk mengambil gambar. Lalu mengunggahnya ke media sosial untuk promosi.
Pernah pula Ani diajak menjelajah ke pengrajin batik di sekitaran Bantul. Dari melihat proses menenun, mencelup, hingga mencap batik, memorinya terbuka. Masa lalunya yang akrab dengan budaya Jawa ingin diulanginya sekali lagi. "Jadilah saya ingin jualan batik apa begitu. Tapi yang unik," ujarnya.
Ia kemudian menjelajah di dunia maya. Sampai menemukan sebuah grup facebook filateli yang menggemari kartu pos dan perangko unik. Dari situ muncul ide membuat kartu pos dengan cover motif batik.
Batik milik sang kakak yang pernah dipotretnya kemudian dicetak diatas kertas karton. Di sampingnya, termuat kisah tentang filosofi dan sejarah jenis batik tersebut. Dan setelah kartu pos jadi, dipasarkanlah produk tersebut ke toko di seputaran Yogya dan di media sosial. Semua dijual dengan harga tiga ribu rupiah.
"Tak sengaja dan tidak menyangka tanggapan komunitas pecinta kartu pos dan wisatawan Yogya cukup bagus. Bisnis suvenir memang tak ada matinya," ungkapnya.
Untuk menuliskan kisah sejarah tersebut, Ani harus datang ke Jlagran. Hal tersebut dilakukannya semasa awal-awal merintis usaha. Ketiadaan sumber sejarah Jawa yang lengkap di internet menjadi alasannya.
Baca Juga :