Krjogja.com -Jakarta - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga.
Perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap Rupiah, dan diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.
Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, Ezra Nazula mengatakan, siklus pelonggaran moneter global telah dimulai. Sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal pertama yang dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti merespon inflasi yang terkendali (seperti terjadi di Swiss, Kanada, zona Euro, dan Inggris Raya), menjaga keseimbangan nilai tukar (Denmark), atau karena melemahnya permintaan domestik (Swedia).
“Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin (Brasil, Kolombia, dan Cili) dan Eropa Tengah-Timur (Hungaria, Ceko, dan Rumania),” kata Director & Chief Investment Officer, Fixed Income, Ezra Nazula dalam acara Indonesia Market Update: Wind of Change di Jakarta, Rabu (14/8).
Baca Juga: Saat Guru PAUD dan TK di Sumut Kampanyekan Keselamatan Berkendara
Dari Amerika Serikat (AS), salah satu pusat ekonomi dunia, The Fed dalam rapat FOMC di bulan Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di bulan September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.
“Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tecermin di pasar US Treasury (UST), dimana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada USD yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya,” jelas Ezra.
Ezra menambahkan, kawasan Asia menjadi yang akan diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global. Secara historis, Asia diuntungkan saat USD melemah (Pada 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali keunggulan tersebut 9 kali terjadi pada iklim pelemahan USD). Perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi.
Baca Juga: Rekomendasi Turun, NasDem Kota Jogja Resmi Usung Heroe-Supena
Sementara itu, Chief Economist & Investment Strategist Katarina Setiawan mengatakan, perubahan ekspektasi The Fed di bulan Juli membuat tekanan terhadap Rupiah mulai reda, dan investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi (setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih). Tekanan upiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun.”
Katarina meyakini, stabilitas Rupiah yang berkesinambungan akan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia. Ke depan, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya adalah perubahan ekspektasi FFR, pemilu AS, outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru. MAMI sendiri memperkirakan, Rupiah hingga akhir tahun masih berada di kisaran Rp15.400 – 16.000 per dolar AS.
Baca Juga: Demi Prestasi Maksimal, Wushu DIY Datangkan Pelatih China
Menurut Katarina, meredanya tekanan pada Rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung bagi kebijakan Bank Indonesia (BI). Inflasi domestik turun ke batas bawah target dan konsumsi domestik yang cenderung lemah dapat menjadi pertimbangan utama BI untuk memangkas suku bunga. Namun di sisi lain, besaran pemangkasan suku bunga oleh
BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed.
“Hal ini dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas Rupiah. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 basis poin (bps) dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps,” kata Katarina. (Lmg)