Menkes : Gangguan Ginjal Akut Capai 241 Kasus, Menyebar di 22 Provinsi

Photo Author
- Minggu, 23 Oktober 2022 | 06:15 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

Krjogja.com - JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan bahwa saat ini gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury atau AKI) mencapai 241 kasus. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya, yaitu 206 kasus pada Selasa (18/10/2022).


Demikiann Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (21/10/2022), kasus itu sudah menyebar di 22 provinsi.


"Kita sudah identifikasi telah dilaporkan adanya 241 (kasus) di 22 provinsi," kata Menkes.


Adapun jumlah kematian dari 241 kasus ini mencapai 133 orang. Kasusnya sendiri memuncak sejak Agustus 2022.


Budi mengungkapkan, hal ini menjadi tak biasa. Sebba, normalnya, kematian pada kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal ini tidak melonjak tinggi dalam waktu cepat.


"Jadi meninggal karena AKI selalu terjadi cuma jumlahnya kecilnya, enggak pernah tinggi. Kita melihat ada lonjakan di Agustus naik sekitar 36 kasus. Sehingga begitu ada kenaikan, kita mulai melakukan penelitian ini penyebabnya apa," ujarnya.


Namun demikian, sebagai bentuk kewaspadaan, Kemenkes mengambil langkah konservatif menginstruksikan apotek dan dokter untuk tidak menjual maupun meresepkan obat sirup.


Teranyar pada Kamis (20/10/2022), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 5 sirup obat batuk/parasetamol yang mengandung cemaran etilen glikol melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Temuan ini ada usai melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 sirup obat.


Keberadaan cemaran etilen glikol dimungkinkan dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirup yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.


Sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran etilen glikol dan dietilen glikol sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.


Peningkatan kasus gagal ginjal akut sebetulnya terlihat pada Agustus 2022. Saat itu, kasus masih terdeteksi sedikit jumlahnya.


"Ketika ada kenaikan kita mulai melakukan penelitian ini penyebab apa," ungkap Budi.


Semula Kemenkes menduga hal tersebut disebabkan oleh infeksi organisme kecil atau patogen. Namun, kesadaran pihaknya baru terbuka setelah ada lonjakan kasus yang sama di Gambia, dan rilis dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).


"Yang membuat kita agak terbuka adalah karena ada kasus di Gambia, 5 Oktober WHO keluarkan rilis ada kasus, dan ini disebabkan oleh senyawa kimia," ungkap Budi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Agusigit

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X