“Saat terjadi bencana, pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah di tingkat lokal harus secara cepat dalam penanganan darurat dan melakukan upaya penanganan yang berbeda dengan peran dalam kondisi normal,†ujar Agus.Â
Sementara itu, pada posisi ini peran kepemimpinan di tingkat provinsi Sulawesi Tengah sangat penting. Tentu, ini didukung oleh BNPB, kementerian/lembaga dan juga TNI/Polri. Dukungan lain yang tidak kalah penting yaitu peran lembaga non pemerintah atau organisasi masyarakat pada tingkatan yang berbeda dalam koordinasi dan pelaksanaan penanganan darurat.Â
“Meskipun di sisi lain, koordinasi ini masih menjadi tantangan bersama bagaimana mensinergikan berbagai pihak dalam penanganan darurat.â€
Pada konteks penanganan bencana Sulteng, tampak sebuah kebutuhan terkait dengan mekanisme atau _platform_ yang dibutuhkan oleh berbagai pihak, khususnya organisasi non pemerintah, dalam penanganan yang lebih efektif di lapangan. Platfrom ini sangat diperlukan untuk mengkolaborasikan kerja pemerintah dan organisasi di luar pemerintah.Â
Sedangkan dalam konteks kemitraan atau _partnership_, sistem penerimaan bantuan yang telah dibangun tadi mendorong dukungan donor maupun lembaga internasional mengarah kepada mitra mereka di tingkat lokal maupun nasional.
“Kami melihat bahwa organisasi masyarkaat di tingkat nasional yang besar, seperti Muhammadiyah dan PKPU, didatangi oleh lebih banyak donor dan LSM internasional daripada sebelumnya. Namun, pada umumnya, ada rekanan yang biasa dari donor biasa, LSM internasional biasa, dan LSM nasional biasa,†tambah Agus.
Bencana gempa yang memicu tsunami dan likuifaksi pada wilayah Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong di Provinsi Sulteng telah mengakibatkan lebih dari 4.300 jiwa meninggal dunia dan hilang. Sedangkan kerusakan infrasturktur, bencana menyebabkan kerusakan dengan kategori ringan hingga berat pada sektor perumahan, pendidikan, kesehatan, perkantoran dan pertokoan. Total kerusakan dan kerugian bencana tercatat Rp 2,89 trilyun. (Ati)