JAKARTA, KRJOGJA.com  -Mantan Menteri Pertanian, Anton Apriyantono menganggap pilihan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menggunakan lahan baku sawah verai lama seluas 8,1 juta hektare untuk penentuan anggaran subsidi pupuk tidak tepat.Â
Sebabnya, ada perbedaan luas lahan baku sawah yang berkisar 1 juta hektare. Atau lebih besar dari hasil penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS) bersama lembaga terkait, bahwa lahan baku sawah pada 2018 kemarin hanya 7,1 juta hektare. Perbedaan ini sangat berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran. Tidak terkecuali kemungkinan akan adanya penyalahgunaan anggaran untuk subsidi pupuk.Â
“Hitungan itu jauh lebih besar dari hasil penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS) bersama lembaga terkait, bahwa lahan baku sawah pada 2018 kemarin hanya 7,1 juta hektare. Kalau seperti itu kan pemborosan dan juga nanti ada peluang untuk penyelewengan. Jadi, luasnya dibesar-besarkan karena anggarannya besar,†kataMantan Menteri Pertanian, Anton Apriyantono di Jakarta, Sabtu (26/1).
Untuk diketahui, tahun ini Kementan meminta anggaran subsidi pupuk sebesar Rp 29,5 triliun atau setara dengan 9,55 juta ton pupuk. Nilai subsidi pupuk ini naik 3,51 persen dibandingkan anggaran pada tahun sebelumnya yang berada di angka Rp 28,5 triliun. Â
Anton melihat keputusan Kementan untuk menggunakan data luas lahan baku sawah versi lama dalam penentuan subsidi pupuk tidak selaras dengan komitmen negara untuk menghemat anggaran. Pasalnya, subsidi pupuk dihitung per hektare sehingga dengan penambahan luas lahan baku sawah akan membuat anggarannya membengkak.Â
“Kita kan harusnya menghemat anggaran untuk sesuatu yang lebih penting,†tukasnya.Â
Menurut Anton, saat ini luasan lahan baku sawah versi BPS sendiri sudah dianggap tepat. Permintaan Kementan agar BPS menghitung ulang luas lahan baku sawah pun dirasa tidak akan mengubah hasil berkurang banyaknya lahan pertanian negeri ini. Justru dengan penghitungan ulang luas lahan baku sawah, besarannya diyakini Ketua Dewan Kopi ini,makin menyusut.Â