SEORANGÂ staf penjualan buku pelajaran berkilah ketika buku-bukunya ditolak oleh sebuah sekolah.
“Buku-buku kita ditolak oleh guru karena dibilang bukunya tidak berkarakter, Pak?â€
“Lho, Anda ini gimana? Semua buku kita berkarakter. Kalau tidak berkarakter, itu namanya buku tulis!â€
Si staf hanya bengong. Ia tidak paham apa yang dimaksud sang manajer. Jelas ada perbedaan makna yang dimaksud oleh staf penjualan itu dan sang manajer. Karakter yang dimaksud staf penjualan adalah ‘akhlak atau budi pekerti’, sedangkan yang dimaksud sang manajer adalah ‘huruf, angka, atau simbol’.
Kisah canda ini saya pungut dari seorang teman di sebuah penerbit buku pelajaran. Ada sebuah fenomena dalam dunia buku pendidikan ketika kata ‘karakter’ menjadi tren untuk ditanamkan pada buku-buku. Lalu, muncullah istilah “buku berkarakter†yaitu buku yang mengandung muatan budi pekerti.
Saat rapat di Balitbang Kemendikbud tentang fenomena buku berkonten tidak patut, saya menyampaikan pendapat bahwa dalam konteks buku anak dan remaja, tidak ada dikotomi buku pendidikan dan buku umum. Semua buku anak dan remaja tergolong sebagai buku pendidikan. Jadi, jika ada buku yang tidak (mengandung muatan) mendidik, buku itu berbahaya bagi perkembangan psikologi anak dan remaja.
Kesimpulannya, buku anak dan remaja seyogianya berkarakter yaitu mengandung muatan budi pekerti atau mendorong anak dan remaja bersikap sesuai dengan norma dan etika yang berlaku pada masyarakat, terutama masyarat Indonesia yang menjunjung adat ketimuran.
Menjelang tahun 2000, isu globalisasi sengit dibicarakan sebagai tantangan membina karakter generasi muda masa itu yaitu Gen Y. Namun, kalau kita mengulik sejarah, malah tahun 1970-an yang dilalui oleh generasi baby boomer, moral generasi muda terpapar parah oleh pengaruh Barat. Kini, setelah milenium maka muncul sebutan generasi milenial yang juga harus diselamatkan karakternya. Salah satunya lewat buku berkarakter.