Atas pelanggaran visual yang terjadi selama ini, Pemkot Yogyakarta tidak banyak berbuat. Paling banter, reklame luar ruang yang melanggar Perda No 2/2015, digaruk Satpol PP. Pelakunya tidak mendapatkan sanksi hukum. Tidak ada denda. Tidak dimasukkan daftar hitam. Bahkan komplotan penebar sampah visual hingga hari ini masih gentanyangan. Mereka menjadi teroris visual yang dengan riang gembira menebar sampah visual reklame komersial di ruang publik.
Ketika pemasangan papan reklame luar ruang tidak memerhatikan estetika lingkungan justru akan memberi kesan Kota Yogyakarta tidak toleran lagi. Untuk itu, keberanian mencabut sampah visual reklame komersial dan iklan politik yang secara sembarangan ditebarkan di ruang publik harus ditanamkan sejak dini. Hal itu mendesak dilakukan sebagai bentuk berwujudan kesadaran masyarakat akan pentingnya keutuhan serta keselarasan lingkungan.
Sejujurnya masyarakat tetap membutuhkan reklame sebagai sumber informasi visual atas keberadaan produk, barang dan jasa. Sebaliknya, masyarakat juga membutuhkan ruang publik. Sebuah ruang sosial digunakan untuk reriungan tanpa terusik kehadiran reklame luar ruang yang mendedahkan kekerasan simbolik berujung pada sampah visual.
(Dr Sumbo Tinarbuko MSn. Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2017)