ANAK-ANAK saya Gendhon, Beruk, dan Pèncèng yang juga sahabat karib saya itu bercerita riuh rendah tentang 'Mencari Buah Simalakama'.
"Itu sebuah pementasan drama yang sangat penting untuk manusia zaman ini...," Gendhon sangat kepayang rupanya oleh teater itu.
Para Sesepuh Teater dari berbagai lingkaran aktivis teater sejak era 1970-an ber-Bhinneka Tunggal Ika, melingkar menjadi satu dalam arena kreativitas dan persaudaraan yang mereka sebut 'Perdikan-Teater'
. Produk kebersamaan mereka yang pertama adalah pergelaran lakon 'Mencari Buah Simalakama'.
Tetapi rupanya Pèncèng tidak sependapat. "Penting gimana," katanya dengan agak mengejek, "judulnya saja sudah merepotkan."
"Merepotkan gimana," Gendhon ganti menyergah.
Beruk yang menjawab. "Di mana-mana buah simalakama itu ditakuti orang. Itu suatu keadaan yang dilematis: itu amsal, paribasan, perumpamaan: sejenis buah, kalau di makan bapak mati, kalau tak dimakan ibu mati. Semua orang yang normal pasti menghindari keadaan seperti itu..."
"Makanya saya bilang merepotkan," Pèncèng memotong, "mestinya dihindari kok
malah dicari."
"Justru karena itu maka ia penting," kata Gendhon, "sebagai ide ia penting dan fenomenal. Sebagai peristiwa teater, pementasan itu memperkenalkan formula pemanggungan baru. Juga gagasannya merupakan semacam tawaran kepada keadaan zaman. Jadi benar-benar penting."
"Penting untuk siapa," Pèncèng mengejar dengan pertanyaan beruntun, "formula pemanggungan baru bagaimana, keadaan zaman yang kayak apa kok
ditawar-tawari gagasan segala. Kapan penghuni zaman ini mencari atau menunggu tawaran, kecuali yang ditawarkan itu uang, proyek, jabatan, keuntungan dan yang semacam itu."