WAJI'AN tenan. Saya repot-repot angkat mereka jadi anak saya, malah nranyak mengejek dan meremehkan kemampuan bapaknya. Kalau saya orang Solo, saya semprot "Bajinguk kowe le". Kalau saya pakai bahasa asal-usul kampung halaman saya di Jawa Timur, saya slentik mereka dengan "Jangkrik Meduro, koen".
Tapi karena sudah 48 tahun saya menjadi orang Yogya, maka spontan saya ucapkan "Waji’an kowe". Mereka pasti tahu kata-kata orisinalnya. Dan kalau mereka suka ambil sangka buruk atau 'negative thinking', mereka sebenarnya lebih merasa kesakitan oleh kata-kata yang disamarkan. Lebih baik diomongin apa adanya dan sama antara isi hati dan mulutnya, daripada isi hati dihalus-haluskan di mulut.
Tetapi anak-anak angkat saya itu terbiasa untuk mengambil baiknya dari apapun yang mungkin buruk. Itu lebih selamat dibanding mengambil yang mungkin buruk dari suatu kebaikan. Aslinya saya ucapkan kata-kata aslinya kepada Pèncèng, tetapi di tulisan ini, karena dibaca banyak orang, wajib saya haluskan. Sebab mungkin banyak di antara pembaca yang tidak terbiasa dengan budaya kemesraan model keluarga kami.
"Kamu yakin saya tidak bisa memenuhi dhawuh untuk meneruskan Mbah Kayam dan Mbah Bakdi?," saya negeske kepada Pèncèng. Yang tentu berlaku untuk Beruk dan Gendon juga.
"Ndak mungkin bisa, mbah," jawab Pèncèng.
"Mbah Kayam adalah Mbah Kayam, Mbah Bakdi adalah Mbah Bakdi, dan simbah adalah simbah,"Â Gendon mendukung saudaranya.
Sebenarnya lucu juga anak-anak kok memanggil 'simbah' kepada bapaknya. Tetapi memang alamiahnya begitu. Secara usia mereka cocoknya memang menjadi cucu saya. Dulu saya angkat mereka jadi anak ini tidak seperti anak yatim yang ditampung. Semua alamiah saja. Dorongannya mungkin kecocokan gelombang, ketersambungan nilai, atau semacam formula kejodohan hidup yang entah bagaimana menjelaskannya.
"Kamu juga sependapat dengan Pèncèng dan Gendon, Ruk?" saya konfirmasi ke Beruk.