KRjogja.com - BALI - Subak Pulagan di Tampaksiring Gianyar Bali menjadi salah satu bagian dari Warisan Dunia UNESCO yang ditetapkan sejak 2012 silam. Eksistensi persawahan dengan konsep irigasi merata ini tetap lestari meski Bali berkembang pesat dengan pariwisata dan modernisasi masyarakatnya.
Subak Pulagan memiliki luas lahan 95 hektare yang dibagi dalam tiga tempek atau kelompok tani yakni Pulagan, Tambug dan Penukaran. Persawahan yang ditanami padi ini diawasi oleh Pekaseh atau Ketua Kelompok Tani bernama Sang Nyoman Artika (53).
Tak hanya memastikan sawah teraliri air dengan baik, Pekaseh juga menjadi penengah ketika ada konflik antar pemilik sawah. Selain itu, ia juga menentukan kapan upacara-upacara sepanjang musim tanam hingga panen dilakukan.
"Jadi, sebelum Pekaseh memberi ijin, maka semua prosesi upacara belum bisa dilakukan. Kalau yang melanggar akan kena sanksi. Ada upacara mulai menanam padi, menolak hama hingga panen dan sebelum memulai mengkonsumsi hasil tanaman," ungkap Nyoman Artika ketika berbincang, Selasa (28/5/2024).
Baca Juga: 268 Mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan UAA Ucap Janji Pra Klinik
Ada hal menarik menurut Nyoman Artika yang masih dijunjung tinggi warga masyarakat yang berkait dengan Subak yakni mereka tak berani menjual area sawahnya. Alasannya sangat sederhana meski memiliki makna mendalam terkait dengan kepercayaan warga setempat.
"Subak ini kami tak berani orang menjual karena warisan leluhur kami. Meski kalau murni petani saja, kami susah hidup karena pas-pasan. Ada yang menjual Subak, tiga tahun sudah habis uangnya. Setelah jual mindset mereka kemudian berbeda bisa judi, beli mobil akhirnya habis. Itu yang kami takutkan. Karma dan karena ini warisan leluhur kami," tandas pria yang telah 20 tahun menjadi Pekaseh.
Untuk menyiasati, banyak petani di wilayah Subak Pulagan yang bekerja pokok di bidang pariwisata dan UMKM. Mereka berjualan kerajinan yang kemudian dijual untuk memastikan seluruh keluarga sejahtera.
"Jadi, pagi sampai sore bekerja, ada yang jadi guide, buat kerajinan begitu. Nanti, sore ke malam ke sawah untuk mengurus padi ini. Kalau hanya petani saja tidak bisa sekolah anak," lanjutnya.
Baca Juga: Caleg Terpilih Ditetapkan, Tahapan Pileg Kota Yogya Berakhir
Nyoman Artika menyebut, predikat warisan budaya dunja yang ditetapkan UNESCO sajak 2012 tak terlalu berpengaruh pada masyarakat selain sedikit bantuan ketika melakukan upacara adat. Jadi menurut dia, meski memang tak ada predikat dari UNESCO, Subak akan tetap ada di masyarakat.
"Saat ini saya, kemungkinan jabatan Pekaseh ini seumur hidup, nanti ke anak saya atau siapa saja generasi berikutnya akan tetap menjaga Subak. Ini warisan leluhur kami, jadi harus tetap dijaga," tandasnya.
Godaan investor untuk membeli lahan sebagai bagian pengembangan pariwisata diakui Nyoman Artika muncul sejak bertahun-tahun silam. Hanya mereka tetap berkomitmen mempertahankan sawah yang menjadi bagian penting dari Subak.
"Kalau menjual tidak akan berani, hanya mungkin sedikit lahan beralih menjadi penginapan, yang dimiliki para petani pemilik lahan itu. Ini bentuk kami beradaptasi untuk tetap bertahan dengan memadukan juga pariwisata. Ya, kalau warisan leluhur kami dijual, bagaimana anak cucu nanti," pungkas Nyoman Artika.
Baca Juga: Di Jateng Tidak Ada Wilayah Aman Dari Bencana Alam