KRjogja.com - JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan Indonesia akan mengalami fenomena kemarau basah hingga akhir Agustus 2025. Kondisi ini berbeda dengan kemarau normal yang ditandai dengan cuaca panas dan kering.
Kemarau basah ditandai dengan curah hujan yang masih tinggi meski sudah memasuki musim kemarau. Deputi Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan kondisi cuaca yang tidak biasa.
"Fenomena ini lebih umum disebut Kemarau Basah," kata Guswanto dikutip Rabu (28/5/2025).
Dia juga menambahkan, kemarau basah adalah fenomena cuaca yang tidak biasa, di mana musim kemarau yang biasanya kering dan panas, tetapi masih mengalami hujan atau kelembaban yang signifikan.
Baca Juga: Workshop Tari Internasional 'Jelajah Tara Tari UST' Hadirkan Pemateri dari Jerman
BMKG memprediksi kemarau basah akan berlangsung hingga akhir Agustus 2025. Persentase wilayah yang terdampak diperkirakan akan terus meningkat.
Pada Juni 2025, wilayah terdampak mencapai 56,54%, kemudian meningkat menjadi 75,38% pada Juli, dan mencapai puncaknya 84,94% pada Agustus. Setelah Agustus, Indonesia diperkirakan memasuki musim pancaroba (peralihan) hingga November, sebelum memasuki musim hujan pada Desember 2025 hingga Februari 2026.
Fenomena kemarau basah disebabkan oleh beberapa faktor utama. Suhu permukaan laut di sekitar Indonesia yang tetap hangat menjadi salah satu pemicu utama. Kondisi ini mendorong pembentukan awan dan hujan meskipun sedang musim kemarau. Selain itu, fenomena iklim global seperti La Niña dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif juga turut meningkatkan kelembapan udara di atmosfer.
Baca Juga: Siagakan 250 Personel, Polres Sukoharjo Amankan Perayaan Kenaikan Isa Almasih
Aktivitas gelombang atmosfer seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby juga berperan dalam meningkatkan intensitas pembentukan awan hujan. Kombinasi dari faktor-faktor ini menyebabkan curah hujan tetap tinggi selama periode kemarau.
Kemarau basah berpotensi menimbulkan kerugian di sektor pertanian karena curah hujan yang tidak menentu. Meskipun hujan membantu tanaman musiman, intensitas hujan yang tinggi dapat merusak tanaman.
Petani perlu mewaspadai potensi gagal panen akibat cuaca ekstrem ini. Perubahan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang lebih tahan terhadap curah hujan tinggi menjadi langkah adaptasi yang penting.
Baca Juga: Bibit dan Sekolah Vokasi UNS Teken MoU, Dorong Mahasiswa Melek Investasi dan Keuangan Digital
Selain sektor pertanian, kemarau basah juga berdampak pada sektor kesehatan. Meningkatnya risiko penyakit infeksi saluran pernapasan dan demam berdarah menjadi perhatian utama.