Selain itu, ujar Gus Yahya, ada pula kebutuhan mendesak akan konsensus bersama mengenai etika, yaitu apa yang dianggap patut dan apa yang tidak patut dalam konteks etika publik. Hal-hal seperti ini, lanjutnya, belum dirumuskan secara jelas dan perlu menjadi perhatian bersama.
"Ini kita sangat butuh. Hal-hal semacam ini, saya kira, tidak cukup hanya kepada UU atau aturan hukum, karena aturan-aturan hukum itu jatuhnya lalu cenderung jadi lebih kepada koridor teknis yang dalam praktik sangat sering kemudian disiasati saja, tergantung kepentingan pelaku. Disiasati koridor ini supaya lolos dari pagar-pagar hukum teknis itu. Maka, tidak cukup," jelasnya.
Ketum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Pendeta Jacky Manuputty mengungkapkan ketakutannya akibat polarisasi yang berkembang bahwa tradisi guyub atau rukun sebagai bangsa menjadi hilang.
"Dalam perjumpaan-perjumpaan seperti ini, banyak hal yang diangkat dalam suasana guyub dijadikan konsensus, atau mendorong untuk meresonansikan apa yang kita sebut sebagai konsensus," katanya.
Ia menceritakan kembali bagaimana risalah-risalah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dirumuskan. Meski ada perdebatan, suasana untuk saling terbuka terhadap ide-ide menjadikan konsensus tersebut terbentuk dengan baik.
Tak hanya itu, lanjutnya, krisis-krisis yang dihadapi saat ini tidak lagi seragam atau datang dari satu sumber yang sama, melainkan beragam, kompleks, dan saling berkelindan, antara ekonomi, sosial, teknologi, dan lingkungan.
"Karena itu menjadi sangat penting di dalam situasi suasana seperti ini, saya sangat setuju yang disampaikan (Gus Yahya), konsensus dibutuhkan," terangnya. (ati)