Indonesia Darurat Kekerasan Anak

Photo Author
- Kamis, 17 Juli 2025 | 14:26 WIB
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) A rifah Fauzi, (baju coklat kerudung coklat) dalam konferensi pers Hari Anak Nasional 2025 di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta, Rabu (16/7/2 (Rini Suryati)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) A rifah Fauzi, (baju coklat kerudung coklat) dalam konferensi pers Hari Anak Nasional 2025 di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta, Rabu (16/7/2 (Rini Suryati)

Untuk anak perempuan, kekerasan fisik yang dialami sepanjang hidup pada SNPHAR 2021 sebesar 10,49 persen. Jumlah itu naik menjadi 15,56 persen pada tahun 2024. 

Selanjutnya, kekerasan emosional pada anak laki-laki, SNPHAR 2021 mencatat ada 32,06 persen dan 2024 naik menjadi 43,17 persen. Sedangkan pada anak perempuan, SNPHAR 2021 mencatat 42,61 persen yang alami kekerasan emosional dan 47,82 persen di 2024. 

Kemudian, prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki 3,65 persen di 2021 dan 8,34 persen di 2024. Pada anak perempuan prevalensi kekerasan seksual mencapai 8,43 persen di 2021 dan 8,82 persen di 2024.

Baca Juga: 21 Santri Eks Pengguna Narkoba Khatam Al-Qur’an, Begini Perjalanan Pondok Pesantren Bidayatussalikin Membina dengan Hati

Dampak Buruk Penggunaan Gawai pada Anak .

Dalam kesempatan itu juga dipaparkan beberapa dampak buruk penggunaan gawai bagi anak-anak, seperti permasalahan mata hingga keterlambatan dalam berbicara atau speech delay.

“Di poli mata, hampir semua anak yang melakukan cek kesehatan gratis mengalami masalah dalam penglihatan. Karena dari hasil survei itu minimal 7 jam orang Indonesia menggunakan gadget,” ungkapnya. 

Selanjutnya anak balita itu mengalami kelambanan berbicara. Di poli anak itu ditemukan seluruh anak yang periksa umurnya balita mengalami kelambanan berbicara,” kata Arifatul.

Baca Juga: 25 Juli Hingga 1 Agustus 2025, Bantul Creative Expo 2025 Siap Digelar

Lebih lanjut, di zaman saat ini, dia mengatakan bahwa banyak orangtua yang tidak mau repot. Ketika anak tidak mau makan, gawai dijadikan solusi. Begitu juga ketika anak menangis, solusi bagi para orangtua adalah gawai.

“Sehingga tidak ada komunikasi antara anak dan ibu. Ini salah satu faktor penyebab mengapa kekerasan banyak terjadi karena sumbernya dari gadget,” tegasnya.

Dia pun berharap pembatasan gawai bagi anak-anak dapat dibuatkan regulasinya dan segera diberlakukan di Indonesia.

“Mudah-mudahan kita bisa mewujudkan pembatasan gadget untuk anak. Kalau handphone yang tidak terkoneksi dengan internet mungkin masih aman. Tapi kalau sudah terkoneksi dengan internet, ini yang agak berbahaya untuk anak-anak kita,” pungkasnya. (Ati) 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X