Krjogja.com - JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (18/11) menutup pembahasan panjang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dengan menetapkannya sebagai undang-undang.
Keputusan itu final setelah dibahas dalam Rapat Paripurna ke-8 masa sidang II 2025-2026 di bawah pimpinan Ketua DPR RI, Puan Maharani. Rapat tersebut juga dihadiri para wakil ketua, yakni Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Saan Mustafa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal.
Baca Juga: Prosfora, Band Chamber–Musical Theatre Pop Asal Yogyakarta Rilis EP 'Her Name Was Earth'
"Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tutur Puan dalam forum rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
"Setuju," jawab anggota DPR yang hadir.
Hanya 242 anggota yang tampak di ruang paripurna dan 100 lainnya mengikuti jalannya rapat secara daring. Jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan 579 anggota DPR, terlihat bahwa banyak yang tidak hadir.
Baca Juga: Wawes Gandeng Sophia Liana Rilis ‘Duwa’, Kolaborasi Dangdut Elektronik Yogyakarta–Kuala Lumpur
Keputusan tingkat dua itu dibahas dalam rapat yang digelar menyusul persetujuan RKUHAP oleh delapan fraksi Panja Komisi III DPR pada Kamis (13/11).
Semua fraksi di DPR sepakat bahwa RKUHAP layak disahkan sebagai undang-undang. Mereka mengatakan pembaruan ini penting karena regulasi yang ada kini telah berusaha lebih dari empat dekade sejak ditetapkan pada 1981.
Revisi KUHAP tidak hanya memperbarui hukum acara pidana agar selaras dengan KUHP baru, tetapi juga merapikan batas kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut. Langkah ini juga diarahkan untuk memperkuat jaminan hak tersangka dan terdakwa serta meningkatkan peran advokat dalam pendampingan hukum.
"RKUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat baik sebagai tersangka, maupun korban tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara," ungkap Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman.
Rencana pengesahan RKUHAP mendapat penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Mereka menilai bahwa proses pembahasannya bermasalah secara formil dan materiil.
Mereka pun mengajukan laporan terhadap 11 Panitia Kerja RUU tersebut ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Laporan itu menyoroti dugaan pelanggaran etika dalam proses legislasi sebagaimana ketentuan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Penyusunan RKUHAP dianggap koalisi tidak transparan dan abai terhadap kewajiban melibatkan publik. Selain itu, mereka keberatan karena nama koalisi disebut-sebut tanpa persetujuan dalam proses perumusan RUU tersebut.