Berpulangnya Pencetus Hari Kesehatan Nasional: Warisan yang Tidak Boleh Dilupakan

Photo Author
- Selasa, 25 November 2025 | 07:23 WIB
Menkes Budi Gunadi Sadikin saat mengunjungi Soegijo Sapoetro semasa hidup (Istimewa )
Menkes Budi Gunadi Sadikin saat mengunjungi Soegijo Sapoetro semasa hidup (Istimewa )

KRJOGJA.com - Indonesia kehilangan salah satu sosok penting dalam sejarah pembangunan kesehatan bangsanya. Soegijo Sapoetro, pencetus gagasan Hari Kesehatan Nasional (HKN) dan saksi peristiwa bersejarah penyemprotan DDT oleh Presiden Soekarno pada 12 November 1959 di Kalasan, Yogyakarta, telah berpulang dalam usia mendekati satu abad. 

Kepergian Almarhum menutup sebuah bab besar perjalanan bangsa dalam memperjuangkan kesehatan publik sebagai fondasi kemajuan negara.

Nama Soegijo mungkin tidak sering muncul dalam narasi arus utama sejarah nasional. Namun kontribusi beliau tidak terbantahkan. Di masa ketika malaria merenggut banyak nyawa dan menghambat pembangunan sosial ekonomi, beliau memimpin gerakan nasional untuk menekan penyebarannya.

Baca Juga: Halaqah Pesantren di UIN Malang Momentum Penguatan Mutu dan Kemandirian Ditjen Pesantren

Keberhasilan program ini kemudian memunculkan usulan untuk menjadikan tanggal 12 November sebagai momentum refleksi nasional. Gagasan tersebut diterima pemerintah dan hingga hari ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional, sebuah simbol bahwa kesehatan adalah perjuangan bersama, bukan sekadar urusan teknis medis.

Lebih dari sekadar pencetus HKN, Soegijo dikenal sebagai sosok yang memandang kesehatan dalam konteks yang sangat luas, kesehatan sebagai strategi pembebasan dari kemiskinan dan penopang masa depan bangsa. Beliau menekankan bahwa pembangunan tidak dapat diukur hanya dari angka pertumbuhan ekonomi, gedung megah, atau modernitas kota. Ukuran sebenarnya adalah kesejahteraan rakyat dan kemampuan negara memastikan setiap warga hidup sehat dan produktif.

Salah satu pesan filosofis yang paling kuat dan terus dikenang hingga kini adalah gagasan yang beliau ucapkan berulang-ulang: “Rakyat sehat, negara kuat.” Ungkapan ini adalah prinsip moral mengenai hubungan antara kesehatan dan masa depan bangsa. Beliau meyakini bahwa kesehatan adalah hak dasar yang menentukan kualitas kehidupan manusia. Rakyat yang sehat mampu belajar, bekerja, mencipta, dan mengangkat keluarganya dari kemiskinan. Sebaliknya, rakyat yang terjebak dalam penyakit dan keterbatasan biaya berobat akan tersisih dari kesempatan ekonomi.

Baca Juga: Pemadaman Listrik Hari Ini dan 26, 27, 29 November 2025 di Wilayah DIY Mana Saja?

Beliau juga menegaskan bahwa kemiskinan dan penyakit adalah dua lingkaran yang saling mengikat, orang miskin lebih mudah sakit, dan orang sakit lebih mudah jatuh semakin miskin. Karena itu, kebijakan kesehatan harus berpihak pada mereka yang paling rentan. Dalam pandangan beliau, keberhasilan pembangunan kesehatan bukan tentang seberapa banyak fasilitas yang berdiri, tetapi seberapa banyak penderitaan rakyat yang berhasil dihapuskan.

Pandangan itu juga menjadi landasan berkembangnya layanan kesehatan primer di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai puskesmas. Pada masa awal perkembangannya, model pelayanan berbasis wilayah dan partisipasi masyarakat ini bahkan menjadi rujukan bagi banyak negara di Asia Tenggara.

Indonesia pernah menjadi contoh tentang bagaimana layanan kesehatan dapat didekatkan kepada rakyat dengan pendekatan sederhana tetapi efektif. Fakta historis ini seharusnya menjadi kebanggaan sekaligus pengingat bahwa bangsa ini memiliki modal besar apabila mau kembali belajar dari masa keemasannya.

Baca Juga: Kisah Minoritas Tionghoa Diangkat MCP dalam Film Terbaru, Syuting Dimulai

Kini, kepergian Soegijo mengundang sebuah pertanyaan mendasar, apa yang akan bangsa ini lakukan dengan warisan beliau? Apakah HKN akan berhenti sebagai perayaan seremonial, atau menjadi titik evaluasi tentang arah kebijakan kesehatan nasional? Apakah prinsip “Rakyat sehat negara kuat” masih relevan kompas moral Pembangunan bangsa?

Refleksi ini menjadi penting di tengah situasi di mana kesenjangan akses layanan kesehatan masih terjadi, angka kemiskinan medis masih nyata, dan pembangunan fasilitas sering tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan. Jika ingin jujur, bangsa ini masih memiliki pekerjaan besar untuk memastikan bahwa tidak ada keluarga yang kehilangan masa depan karena tidak mampu menghadapi penyakit.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X