Jakarta — Upaya modernisasi tata kelola pesantren di Indonesia memasuki fase krusial. Melalui Halaqah Penguatan Kelembagaan bertema “Pesantren, Ekoteologi dan Kemandirian Ekonomi Umat” yang digelar di UIN Jakarta, Kementerian Agama menegaskan arah baru pengembangan pesantren: memperkuat struktur negara, membangun gerakan ekoteologi, dan mendorong kemandirian ekonomi berbasis unit usaha yang profesional.
Kehadiran para kiai pengasuh pesantren besar, akademisi, dan pejabat Kemenag dalam forum ini menghadirkan gambaran komprehensif tentang masa depan pesantren sebagai pusat peradaban yang lebih terstruktur dan berdaya saing.
Dalam pemaparannya, KH. Ahmad Mahrus Iskandar menekankan pentingnya menjadikan pesantren sebagai garda depan gerakan ekoteologi—sebuah pendekatan keagamaan yang menempatkan kelestarian alam sebagai bagian integral dari spiritualitas Islam. Ia menyoroti bahwa Indonesia dianugerahi kekayaan ekologis yang seharusnya melahirkan kesadaran lingkungan sejak dini di lingkungan pesantren.
Baca Juga: Menunggu Senjata Rahasia Van Gastel Saat PSIM Kehilangan Banyak Pemain Kunci Melawan Persija di GBK
Ia mencontohkan praktik yang telah dilakukan Pondok Pesantren Darunajah, mulai dari pemilahan sampah, penggunaan air yang efisien, hingga sistem penyiraman otomatis untuk mendukung area penghijauan. KH. Mahrus menegaskan pentingnya membangun gerakan ekologis yang lebih terstruktur melalui kurikulum, pembiasaan santri, hingga unit usaha berbasis lingkungan.
Tidak hanya soal ekologi, KH. Mahrus juga menampilkan bagaimana Darunajah membangun kemandirian ekonomi melalui wakaf produktif, pertanian, peternakan, dan berbagai usaha yang dikelola secara profesional. Dengan model tersebut, hampir setengah kebutuhan operasional pesantren dapat dipenuhi tanpa bergantung pada bantuan eksternal. Dari total 1.117 hektare aset yang dikelola yayasan, lebih dari 1.000 hektare merupakan hasil pengembangan wakaf produktif. “Amanah masyarakat datang seiring kesungguhan kita mengelola,” ujarnya.
Kiai Sofwan Manaf memperkuat pandangan tersebut dengan menekankan bahwa pesantren harus dikelola berdasarkan delapan komponen dasar yang saling terhubung, mulai dari pendidikan, pengasuhan, administrasi, sarpras, hubungan masyarakat, usaha, SDM, hingga legalitas. Menurutnya, ruang gerak pesantren yang lebih fleksibel dibanding lembaga pendidikan formal menjadi modal besar untuk memperkuat kemandirian ekonomi lembaga.
Baca Juga: Pemadaman Listrik Hari Ini 28–29 November 2025 di Wilayah DIY yang Terdampak dan Lokasinya
Ia menyoroti pentingnya pengelolaan keuangan berbasis akuntabilitas, termasuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Setelah lembaganya memperoleh legalitas nasional sebagai amil zakat, tingkat kepercayaan publik meningkat drastis dan pemasukan melonjak hingga 20 kali lipat.
Sofwan juga menekankan bahwa penguatan ekoteologi dan ekonomi pesantren selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama pada isu kemiskinan, pendidikan, dan kewirausahaan. Ia mengusulkan pembentukan Direktur Ekonomi Pesantren yang fokus pada perencanaan dan pengembangan usaha berbasis data.
Dari sisi negara, Staf Khusus Menteri Agama Bidang Kebijakan Publik, Media, dan SDM Ismail Cawidu menekankan urgensi pembentukan Direktorat Jenderal Pondok Pesantren sebagai bagian dari reformasi besar tata kelola pendidikan Islam. Ia menyebut kondisi saat ini—dengan 42 ribu pesantren dan enam juta santri—mustahil dikelola hanya oleh satu direktorat.
Baca Juga: Komitmen Menjaga Keberlanjutan, AQUA Perkuat Mitigasi Lingkungan di DAS
“Pesantren hadir jauh sebelum negara membiayai pendidikan. Kini jutaan santri dibiayai masyarakat. Negara wajib memastikan struktur tata kelola yang kuat,” ujarnya.