Ahli Intelijen Soroti Darurat Keamanan Siber dan Ancaman Radikalisme di Era Ketidakpastian Global

Photo Author
- Rabu, 10 Desember 2025 | 23:34 WIB
Istimewa
Istimewa

KRjogja.com - YOGYA - Direktur The Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi keamanan siber Indonesia yang dinilai semakin rentan. Menurutnya, maraknya situs yang mengarah pada kekerasan, radikalisme, dan ekstremisme menunjukkan betapa terbukanya ruang digital terhadap ancaman yang berpotensi menimbulkan kekerasan di dunia nyata.

“Banyak celah dalam regulasi. Indonesia punya beberapa aturan ITE, tetapi belum ada undang-undang yang benar-benar mengatur keamanan siber secara menyeluruh,” ujar Ridlwan.

Ridlwan menegaskan bahwa setiap lembaga kini memiliki unit sibernya masing-masing Polri punya Cybercrime, Kementerian Komunikasi dan Digital memiliki unit pengawasan siber, Kejaksaan juga memiliki perangkatnya, begitu pula lembaga lain. Namun belum ada satu payung koordinasi yang menyatukan seluruhnya.

Saat ini, DPR RI tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai fondasi hukum yang akan memberikan mandat dan kewenangan koordinatif lintas sektor. RUU ini diharapkan dapat memperkuat pertahanan Indonesia dari ancaman digital yang terus berkembang.

Merujuk pada kasus bom rakitan yang melibatkan seorang siswa SMA 72, Ridlwan menilai insiden ini menunjukkan betapa mudahnya anak muda terpapar konten ekstrem di internet.

“Ia terinspirasi tokoh ekstrem lalu mempraktikkannya. Ini alarm keras bagi kita semua,” tegasnya.

Ia mendorong sekolah untuk aktif melakukan pendampingan, memperkuat layanan konseling, serta membuka ruang komunikasi yang aman bagi siswa. Guru juga diharapkan lebih proaktif, sementara pemerintah perlu membangun sinergi dengan Kemendikbud, Komisi Perlindungan Anak, Komdigi, hingga Kementerian Sosial untuk memperkuat upaya pencegahan.

Ridlwan menilai definisi radikalisme di Indonesia masih bias, sehingga kerap tumpang tindih dengan aturan KUHP maupun regulasi digital lain. Ia menekankan perlunya pedoman yang lebih jelas agar penindakan tidak tumpang tindih dan perlindungan terhadap anak serta remaja dapat berjalan efektif.

Dalam konteks pencegahan, Ridlwan menyebut orang tua memegang peran sangat penting. Mereka harus memahami literasi digital, mengenali tanda-tanda paparan ekstremisme, dan aktif berkomunikasi dengan anak.

“Jangan hanya guru yang dilatih literasi digital. Orang tua juga harus dibekali,” katanya.

Namun demikian, ia menyadari bahwa banyak anak muda cenderung mengabaikan nasihat yang datang dari orang tua. Karena itu, ia mendorong model edukasi melalui teman sebaya, terutama bagi generasi Z yang dinilai lebih responsif terhadap tokoh seusia mereka.

“Gen Z sangat cocok menjadi agen perubahan. Mereka lebih didengar oleh teman-temannya,” ujar Ridlwan.

Edukasi berbasis komunitas sebaya dinilai efektif untuk menyebarkan narasi positif dan menangkal propaganda ekstrem yang banyak beredar di media sosial.

Hasibullah dari FKUB Muda DIY menambahkan bahwa anak muda membutuhkan ruang konsultasi yang jelas. “Sering kali kami bingung hendak melapor ke mana ketika menemukan masalah. Karena itu kolaborasi dan partisipasi dalam membangun dunia digital yang aman sangat penting,” katanya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X