Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek, Khairul Munadi, menegaskan bahwa inklusivitas merupakan keharusan yang harus diimplementasikan oleh seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa mulai tahun 2026, perguruan tinggi diharapkan mampu menghadirkan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas secara nyata dan terukur. Menurutnya, kehadiran Metrik Inklusi Disabilitas menjadi instrumen penting untuk membantu perguruan tinggi memetakan kondisi eksisting, mengidentifikasi kesenjangan layanan, serta menyusun langkah strategis yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan sivitas akademika penyandang disabilitas.
Kegiatan diseminasi ini juga menghadirkan pemaparan dari Komisi Nasional Disabilitas (KND) serta tim pengembang Metrik Inklusi Disabilitas dari Unesa. Para narasumber menggarisbawahi pentingnya cetak biru kampus inklusif sebagai panduan pemenuhan hak penyandang disabilitas, termasuk pemahaman konsep, indikator metrik, serta teknis pengisian dan pemanfaatan instrumen oleh perguruan tinggi.
Cetak biru kampus inklusif tersebut berangkat dari arah kebijakan negara yang menempatkan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta diperkuat melalui Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya Tujuan 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan Tujuan 10 tentang Pengurangan Ketimpangan.
Pendidikan tinggi yang inklusif dipandang sebagai fondasi penting dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berkeadilan. Sebagai salah satu peserta kegiatan, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia, menyampaikan apresiasinya atas langkah Kemdiktisaintek dalam meningkatkan perhatian terhadap insan pendidikan tinggi penyandang disabilitas.
Ia menilai penguatan regulasi dan instrumen pengukuran menjadi sinyal positif bagi peningkatan layanan inklusif di perguruan tinggi. Diseminasi ini diikuti oleh perwakilan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), serta Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah I hingga XVII dari seluruh Indonesia, sebagai bagian dari upaya bersama mendorong terwujudnya kampus yang inklusif dan berkeadilan.(ati)