Pada PPDB tahun 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 224 pengaduan PPDB yang berasal dari provinsi DKI Jakarta sebanyak 200 kasus (89%,) dan 24 kasus (11%) berasal dari kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan kota Malang (Jawa Timur) masing-masing hanya 1 kasus; kota Tangerang (Banten) 3 kasus Bantul (D.I Jogjakarta) 1 kasus, kota Bekasi 5 kasus, kota Bogor 2 kasus , dan kota Bandung 1 kasus (Jawa Barat); kota Semarang (Jawa Tengah) sebanyak 2 kasus; Pekanbaru (Riau) sebanyak 2 kasus; Medan (Sumatera Utara) hanya 1 kasus; kota Padang (Sumatera Barat) 1 kasus; kabupaten Buleleng (Bali) 1 kasus ; dan kota Makassar (Sulawesi Selatan). Pengadu yang melakukan Konsultasi terkait permasalahan PPDB berasal dari berbagai daerah, diantaranya Lampung. Palangkaraya, kota Surabaya, kabupaten Bekasi dan kabupaten Bogor.
Pengaduan berasal dari seluruh jenjang pendidikan, mulai dari jenjang SD sampai SMA, yaitu SD sebanyak 4 kasus (1,8%), jenjang SMP sebanyak 72 kasus (32,2%), dan jenjang SMA sebanyak 148 kasus (66%). Pengaduan PPDB di dominasi masalah kebijakan yaitu sebanyak 209 kasus (95%) dan masalah teknis sebanyak 11 kasus (5%). Ada 3 pengaduan terkait kasus dugaan kecurangan dalam PPDB berupa pemalsuan dokumen domisili dan ada 1 kasus dugaan jual beli kursi di jenjang SMA.
Adapun masalah kebijakan diantaranya adalah: pengadu keberatan dengan ketentuan jalur prestasi yang dibuka setelah jalur zonasi dan afirmasi, ketentuan persentase jalur prestasi, ketentuan penggunaan kriteria usia, dan ketentuan domisili yang harus satu tahun sebelumnya berdomisili di daerah tersebut. Ada juga beberapa pengaduan dugaan kecurangan pemalsuan dokumen domisili yang berasal dari kota Semarang, kota Pekanbaru, dan kabupaten Buleleng.
Ada juga pengaduan masyarakat yang diterima oleh KPAD Tapanuli Utara terkait dugaan kecurangan PPDB di salah satu SMA. Karena tidak adanya juknis PPDB di kabupaten Tapanuli Utara kecuali diberikan petunjuk ketentuan PPDB dengan menggunakan parameter jarak, sistemnya juga manual, tidak online. Menurut pengadu, sejak awal pihak sekolah tidak memberitahu adanya parameter nilai dalam zonasi secara resmi. Ada dugaan, penggunaan parameter nilai secara terselubung adalah praktik jual beli kursi. Belakangan kasus ini diselesaikan secara musyawarah.
Adapun pengaduan terkait masalah teknis adalah sebagai berikut : kesulitan login dan calon peserta didik terlambat mendaftar PPDB; kekeliruan mengisi data pendaftar, seperti mengisi asal sekolah; kekeliruan mengisi jalur, yang seharusnya jalur regular menjadi jalur afirmasi; kekeliruan mengisi keterangan fisik, menjadi cacat fisik padahal kenyataannya tidak; kesulitan login yang mengakibatkan anak terlambat didaftarkan; ada orangtua tidak paham daftar PPDB secara online karena gaptek, server PPDB lemot; dan verifikasi lambat karena verifikator kesulitan membaca hasil scan data pendaftar yang dikirim ke server.
Pengaduan DKI Jakarta yang sebagian besar berkaitan dengan keberatan atas kriteria usia, banyak didominasi para orangtua yang berkeluh kesah pada bagian pengaduan KPAI dengan menceritakan kesedihannya karena anak-anaknya terpukul secara psikologis karena tidak diterima di semua sekolah negeri pada jalur zonasi karena usianya muda, padahal rumahnya sangat dekat dengan sekolah yang dituju.
Ada yang unik adalah kasus di Cipinang Muara, dimana anaknya tidak diterima di semua SMPN yang menjadi zonasinya, padahal tersedia 24 sekolah, karena factor usia. Anak pengadu berusia 12 tahun 5 bulan 5 hari saat mendaftar. Dari penjelasan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang diterima KPAI, bahwa anak yang diterima di zonasi SMP Cipinang Muara tertua 14 tahun 11 bulan, dan termuda 12 tahun 5 bulan 8 hari. Sementara usia normal masuk SMP sesuai dengan wajib belajar SMP adalah tahun 13 tahun jadi usia yang diterima masih dalam batas normal. Artinya, anak-anak yang diterima masih anak usia sekolah di bawah usia maksimal yang dipersyaratkan dalam peraturan pemerintah.