Australia, Delfina Dimoski, telah gagal melawan pemerkosaan, hukuman mati, dan pelecehan verbal. Bahkan, setelah menyelesaikan tugasnya sebagai wasit di pertandingan sepakbola, ia kerap dikuntit dan dilecehkan di media sosial atas keputusan yang dibuatnya.
Dalam 11 tahun bertugas menjadi wasit, pelecehan terus-menerus dialami Dimoski. Kondisi ini telah membuatnya memiliki mental baja. Tetapi, dalam beberapa musim terakhir, ancaman kekerasan telah membuatnya takut untuk melakukan pekerjaannya. Alhasil, Dimoski pun mempertimbangkan untuk berhenti dari pertandingan yang ia sukai.
"Sedihnya, saya menjadi sasaran karena jenis kelamin dan etnis saya, dengan beberapa penghinaan yang sangat vulgar. 'Kembali ke dapur', 'perempuan tak terlibat dalam sepakbola pria',†kata Dimoski.
"Saya dikuntit dan saya telah diancam, tidak hanya secara langsung dan dalam pertandingan, tetapi juga di media sosial. Saya cukup terguncang, itu membawa saya ke titik di mana saya ingin mundur sebagai wasit sepakbola. Sangat sulit untuk memproses mengapa seseorang mengatakan itu kepada Anda ketika Anda baru saja berpartisipasi dalam olahraga yang Anda sukai,†jelasnya.
Mendepak Perempuan
Dimoski mengatakan pelecehan gender mempersulit rekrutmen wasit perempuan di Canberra, di mana Capital Football mengelola kompetisi di Australia tersebut. Ia mengatakan, menjadi suara yang sering kali tidak populer di lapangan begitu sulit, terlepas dari urusan gender.
"Sedihnya bagi perempuan, karena kami sudah menjadi minoritas di dalam minoritas, itu sangat menantang," ujar Dimoski.
Dimoski mengatakan tak hanya sulit untuk membuat perempuan menjadi wasit, tetapi juga untuk mempertahankan mereka begitu masuk di dunia tersebut.