Pèncèng mengutip ungkapan seorang seniman sepuh Yogyakarta. "Dalam kehidupan ini sebenarnya persahabatan pun tidak ada. Semua yang wujud adalah bersaudara. Semua berada dalam satu rangkuman keluarga. Kalau persahabatan itu antarkeluarga. Tetapi kalau persaudaraan itu seasal-usul, serumah, sekampung, sedarah, se'sangkan-paran'. Semua dari Satu menuju dan menjadi Satu..."
Beruk dan Gendhon terheran-heran. Simbah sendiri campur bangga dan bahagia. Mungkin Simbah tidak membimbing cucu-cucu ini di jalan yang tepat, tetapi mungkin karena niat Simbah baik, itikadnya tulus dan cintanya murni - maka entah bagaimana anak-anak itu toh akhirnya proses pembelajarannya mendekat ke wilayah keutamaan dan kemuliaan hidup.
Bangganya Beruk dan Gendhon bukan terutama terhadap muatan kalimat itu, melainkan bahwa Pèncèng yang memperolehnya dan yang menyampaikannya. "Pèncèng tidak pèncèng
, ia lurus," Beruk berbisik ke telinga Beruk. Dan Beruk merespons: "Andaikan pun ia pèncèng
, maka pèncèng
-nya itu adalah jalur untuk menemukan yang lurus." Simbah, yang juga tahu bisikan mereka, turut merespons: "Yang dimaksud Shirathal Mustaqim tidak tepat benar kalau dipahami sebagai Jalan Yang Lurus. Ya memang lurus tujuannya, satu titik Agung sangkan paran
tepat di depan mata jiwa kita. Tetapi jalan yang harus ditempuh oleh manusia tidak pasti lurus, melainkan berliku-liku..."
"Apakah dengan demikian persahabatan itu tidak penting?" terdengar suara Pèncèng meneruskan, "Tidak. Persahabatan amat sangat penting, kata Penyair Sepuh itu. Tetapi tidak cukup. Manusia perlu meneruskannya ke hakiki semua makhluk Tuhan, yang semuanya bersaudara atau sekeluarga, bahkan dengan Tuhan itu sendiri."
"Maksudnya sekeluarga dengan Tuhan itu bagaimana, Cèng?" Gendhon bertanya.
"Coba pakai bahasa budaya sehari-hari yang digunakan oleh manusia," jawab Pèncèng, "tapi jangan terjebak oleh kosakatanya, yang memang selalu sangat terbatas dan tak mampu menjelaskan nilai yang sebenarnya dan selengkapnya atau seutuhnya."
"Iya terus Cèng," Beruk mengejar.
"Manusia itu bukan 'orang lain' bagi Tuhan, karena manusia berasal dari Diri Tuhan sendiri. Tuhan juga bukan 'orang lain' bagi manusia, karena tidak ada manusia kalau tidak bersumber dari Diri Tuhan sendiri. Maaf ya, jangan lantas membantah di luar konteks: Lho, Tuhan kan bukan orang, apalagi orang lain..."