Apabila seorang penulis cerita anak tidak mau berpayah-payah melakukan riset terhadap sumber asli cerita rakyat dan juga menganggap semua cerita rakyat adalah patut untuk anak maka habislah pendidikan karakter yang kita gembar-gemborkan kini. Dengan santai kita menggelontorkan cerita rakyat kepada anak-anak kita lewat asumsi bahwa cerita rakyat harus disampaikan kepada generasi muda agar mereka memahami kearifan lokal. Kearifan bagaimana jika yang termuat adalah kesadisan, takhayul, pelecehan gender, dan seks?
Buku yang berkarakter bukan sekadar sebutan atau istilah tak bermakna. Pemerintah juga bertanggung jawab membina penulis-penulis yang berkarakter untuk menulis buku yang berkarakter dengan tetap memunculkan kreativitas penggarapan. Tentu saja ini memerlukan pendidikan dan pelatihan intensif karena tidak serta merta seseorang dapat “dipaksa†untuk menulis cerita anak karena ia orang dewasa yang berpendidikan.
Seorang penulis buku anak, apalagi dengan embel-embel karakter, disebut berhasil jika bukunya mampu mencuri perhatian anak dan menimbulkan minat untuk membacanya. Di situlah penyisipan karakter akan terjadi dengan sukses.
Baca Juga :Â
Catat 4-8 Oktober Kampung Buku Jogja