Sejak Orde Baru hingga masa Reformasi kini, kabar yang tidak enak didengar tentang daya literasi bangsa Indonesia selalu didengungkan. Kabar itu apalagi kalau bukan soal minat baca-tulis yang rendah.  Di dalam KBBI V, literasi didefinisikan sebagai ‘kemampuan membaca dan menulis’. Namun, pengertian literasi lebih luas maknanya daripada sekadar baca-tulis.
Nielsen Consumer & Media View (CMV) pada kuartal II 2016 menerbitkan hasil survei di 11 kota di Indonesia tentang minat membaca media cetak dan buku pada generasi milenial. Hasilnya sangat mengejutkan.Â
Ada 17.000 responden berusia 10 sampai 19 tahun yang mengikuti survei ini. Minat membaca Generasi Milenial atau sering juga disebut Gen-Z ini tinggal 11% untuk buku dan untuk media massa cetak tinggal 9%. Para Gen-Z itu lebih tinggi minatnya untuk berolahraga (44%), menonton televisi (32%), mendengarkan musik (22%), dan meramban internet (17%). Data ini semestinya makin membuat kita cemas soal keliterasian.
Masih ada data lain yang lebih miris. Selang sebulan setelah Kemendikbud meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada Februari 2016, John Miller, President of Central Connecticut State University (CCSU) di New Britain, Connecticut, AS, seperti dikutip banyak media dunia menyampaikan hasil risetnya tentang peringkat negara di dunia terkait tren perilaku membaca dan keliterasian.
Miller dan timnya mulai mengkaji data dari 200 negara demi mengidentifikasi peringkat keliterasian sebuah negara, tetapi mereka hanya menemukan informasi dan data yang dapat dipercaya pada 61 negara yang kemudian dipublikasikan. Hasilnya, Indonesia menempati posisi 60 dari 61 negara itu. Artinya, Indonesia adalah negara terburuk kedua dalam soal keliterasian—satu tingkat berada di bawah Thailand dan di atas Botswana.
Mengapa literasi itu penting? Di dalam UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan (Sisbuk), literasi didefinisikan sebagai berikut: “kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnyaâ€. Jadi, tampak bahwa kemampuan literasi itu menjadi krusial di tengah derasnya arus informasi serta perkembangna ilmu pengetahuan dan teknologi.
Inilah yang dikatakan Miller dalam pengantar hasil risetnya, "Apa yang ditampilkan oleh pemeringkatan ini (riset CCSU) terkait keliterasian dunia sangat menyarankan dan menunjukkan bahwa berbagai jenis perilaku literasi sangat penting bagi keberhasilan individu suatu bangsa dalam ekonomi berbasis pengetahuan yang menentukan masa depan global kita.â€
Atas dasar kajian tersebut terungkaplah bahwa keandalan literasi sangat menentukan sukses individu suatu bangsa, apalagi dalam menghadapi tantangan global masa depan. Di sisi lain, Indonesia boleh dikatakan justru tidak memiliki cetak biru pengembangan daya literasi, kecuali sebatas program-program yang sifatnya parsial. Bahkan, Kemendikbud era Anies Baswedan dengan gagah memaklumkan Gerakan Literasi, tetapi yang terjadi pelaksanaannya juga parsial. Tiap-tiap direktorat membuat program sendiri tanpa memiliki satu cetak biru yang berlaku secara nasional. Padahal, tujuan yang ingin dicapai adalah sama.