nasional

Generasi Milenial dan Cetak Biru Literasi

Sabtu, 29 Juli 2017 | 14:04 WIB

Walaupun begitu, satu harapan tersurat terkait cetak biru literasi bahwa akhirnya Presiden Jokowi mengesahkan UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Pada UU inilah isitilah ‘literasi dan budaya literasi’ mulai disebut. RUU ini sebelumnya merupakan inisiatif DPR sejak 2014 dan cikal bakal RUU ini sudah direkomendasikan sejak Kongres Perbukuan Nasional I tahun 1995.

Disadari bahwa bagaimanapun cetak biru peningkatan daya literasi bangsa memerlukan payung hukum yang lebih tinggi yaitu UU, tidak lagi sebatas PP atau Permen. Selain itu, UU ini semestinya mendorong para pemangku kepentingan perbukuan untuk melakukan riset literasi sendiri jika kita tidak ingin bergantung pada riset-riset lembaga asing atau internasional yang belum tentu memahami karakteristik keliterasian bangsa Indonesia.

Mulai dari Apa dan Siapa

Cetak biru peningkatan daya literasi semestinya bermula dari hasil riset keliterasian seperti yang sebelumnya disebutkan, lalu dikembangkan menjadi dua pokok soal, yaitu apa yang dibaca dan apa yang ditulis. Belajar dari Proyek Penyediaan Buku Bacaan Sekolah Dasar (PPBBSD) yang pernah diluncurkan oleh pemerintah Orba atau lebih dikenal dengan nama Proyek Inpres, penerbitan buku secara besar-besaran tidak menjamin peningkatan minat baca. Apalagi, kemudian diketahui bahwa banyak buku proyek pemerintah itu tidak layak baca karena ditulis dan diterbitkan secara asal-asalan. Mengapa? Karena saat proyek itu diadakan, bertumbuhlah para penerbit “dadakan” yang hanya mengejar keuntungan semata. Kondisi ini masih terjadi hingga tahun 2000-an.

Mulai dari apa yang dibaca adalah menyiapkan buku-buku dalam tiga kategori, yaitu 1) buku yang wajib dibaca (required reading); 2) buku yang direkomendasikan untuk dibaca (recommended reading); 3) buku pengetahuan umum yang bebas untuk dibaca (general knowledge). Cetak biru peningkatan daya literasi harus menyiapkan daftar untuk dua kategori buku (1 dan 2) pada setiap satuan pendidikan. Saat peserta didik akan masuk ke perguruan tinggi maka mereka dapat dites tentang bacaannya itu dan kemampuannya membaca.

Program penilaian dan pengadaan buku yang dipersiapkan pemerintah ke depan harus mengacu pada kebutuhan buku-buku tersebut. Di dalam aktivitas membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai, harus lebih ditekankan aktivitas membaca secara menye­nangkan dengan penyediaan bahan bacaan yang menarik bagi anak-anak.

Apa indikator buku menarik itu? Saya pernah menulis juga di sini bahwa buku yang menarik adalah buku yang memiliki daya gugah (mendorong seseorang untuk terus membaca), daya ubah (mendorong seseorang untuk berubah ke arah lebih baik), dan daya pikat (mengandung unsur estetis dari segi desain dan tata letaknya). Namun, ketiga faktor itu harus didukung pemahaman tentang perjenjangan (leveling) yang didasarkan pada kemampuan membaca dan tingkat usia pembaca sasaran.

Siapa yang berperan dan mendorong semua ini? Tidak pelak pemerintah, pelaku perbukuan, dan masyarakat, termasuk orangtua dan guru. Pemerintah telah berkewajiban menghadirkan negara dalam soal peningkatan daya literasi ini, terutama dikuatkan dengan UU Sisbuk. Begitupun para pelaku perbukuan sudah mulai diperhatikan hak dan kewajibannya, termasuk profesionalitasnya melalui program sertifikasi dan akreditasi. Pada masanya nanti tidak lagi setiap orang sembarang menulis dan menerbitkan buku, tetapi harus ada jaminan mereka memang menghasilkan buku-buku yang bermutu sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik.

Halaman:

Tags

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB