Krjogja.com - BALI - Pemda DIY belajar pengelolaan serta maksimalisasi Sumbu Filosofi yang kini telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO ke Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV Bali, Senin (27/5/2024).
DIY berharap adanya Sumbu Filosofi bisa membawa manfaat bukan hanya mempertahankan budaya dan pariwisata di mata dunia, namun juga membawa manfaat bagi masyarakat secara lebih luas.
Baca Juga: Bupati Nias Barat Khenoki Waruwu Serahkan Hadiah di Puncak Acara Festival Pesona Aekhula 2024
Sekda DIY, Beny Suharsono mengatakan Pemda DIY yang secara penuh memperjuangkan pengakuan UNESCO berharap agar keberadaaan Sumbu Filosofi tak hanya menjadi simbol semata yang diakui dunia. Namun menurut Beny, Sumbu Filosofi harus menjadi pendongkrak ekonomi di mana masyarakat DIY menjadi subjek di dalamnya.
"Inilah yang mendasari kami belajar ke Bali karena di sini ada dua Subak yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya. Kami ingin tahun bagaimana mengelola, memaksimalkan untuk nantinya apa yang bisa kemudian diterapkan di DIY. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan hal-hal positif dari keberadaan Sumbu Filosofi," ungkap Beny, Senin (27/5/2024).
Baca Juga: 317 Tim Ikuti Kontes Robot Indonesia 2024
Sumbu Filosofi yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya membentang dari Tugu Pal Putih di utara hingga Panggung Krapyak di selatan. Garis imajiner tersebut berada di tengah wilayah DIY sebagai Kraton Yogyakarta sebagai pusat.
"Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya tekanan pembangunan, tekanan lingkungan, kesiapsiagaan bencana, isu pariwisata berkelanjutan, dan eksistensi sosial-budaya masyarakat sekitar. Maka, kami merasa tepat memilih Bali sebagai tujuan studi banding karena Subak telah lebih dahulu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia pada 2012 silam. Bahkan hingga saat ini, masih konsisten mempertahankannya, kami berharap bisa kami mengadaptasi dan implementasikan pada pengelolaan Sumbu Filosofi Yogyakarta," sambung Beny.
Sementara, Abi Kusno, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV Bali, menjelaskan bahwa filosofi cultural landscape Subak yang ada di Bali mirip dengan warisan budaya dunia di Jogja, Sumbu Filosofi. Tak hanya landscape alam yang menjadi hal utama namun filosofi di dalamnya dengan Tri Hita Karana menjadi hal paling penting.
Baca Juga: 317 Tim Ikuti Kontes Robot Indonesia 2024
"Jadi ada Parahyangan, Pawongan dan Palemahan yang ada dalam perwujudan Tri Hita Karana. Ini adalah bentuk hubungan antara Tuhan, Manusia dan Lingkungan. Bagaimana ketika Subak hilang maka keseimbangan kehidupan akan goyah," tandasnya.
Luasan Subak yang diakui UNESCO di Bali meliputi hampir 21 ribu hektare mulai dari Danau Batur, Pura Ulun Ulun Danau Batur, Landskap Subak Pakerisan, Subak Catur Angga Batukaru hingga Pura Taman Ayun yang memperlihatkan hulu ke hilir. Abi menyampaikan bawasanya ada keinginan masyarakat untuk mempertahankan Subak namun untuk melakukan serangkaian ritual, mereka tak bisa berjalan sendiri.
Dinas dan komponen di Bali punya hubungan dengan Subak. Tantangan/isu pengelolaan juga muncul seperti konversi lahan pertanian, dampak revolusi hijau, resiko bencana hidrometeorologi, regenerasi petani, kelembagaan subak, finansial tinggi dalam penyelenggaraan upacara, pemberlakuan pajak dinilai memberatkan petani dan tidak adanya Badan/Dewan Pengelola.
Baca Juga: Arsip Gempa Jogja 2006 Dipamerkan, Jadi Pembelajaran dari Pengalaman Masyarakat
"Kami membentuk forum untuk mengkoordinir stakeholder kawasan Subak dan menghubungkan satu sama lain. Orkestrasi harus dilakukan karena masyarakat juga menyadari bahwa ketika Subak hilang maka ada beberapa ritual yang tak bisa lagi dilakukan. Peran penting pemerintah hadir untuk membantu memastikan Subak tetap ada, namun masyarakat sendiri tak bisa jalan tanpa bantuan pemerintah. Petani bisa tetap hidup, bukan hanya dengan menjual padi saja tapi banyak hal lain misalnya UMKM dan pariwisata," sambungnya.