Krjogja.com- JAKARTA - Kata Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), kita butuh dialog, bukan saling maki di media sosial (medsos). Hal ini ia katakan dalam Diskusi Rutin Forum Kramat dengan tema Pentingnya Konsensus Kebangsaan di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025).
Konsensus yang telah disepakati pada tempo lalu perlu diaktualisasikan dengan realitas masa kini.
Baca Juga: Perebutan Piala Ketua DPRD Karanganyar, Atlet Pilihan 17 Kecamatan Siap Bertanding Bola
Menurutnya, masyarakat dengan dinamika sosialnya telah berkembang, meski akan diwarnai dengan benturan serta konflik, sehingga pada waktunya lembaran sejarah akan memunculkan inisiatif melakukan konsolidasi sosial agar dapat menciptakan wahana-wahana kebersamaan.
"Seperti yang kita tahu semua, konsensus tentang dasar negara, konsensus tentang bentuk negara, konsensus tentang nilai dasar negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Pendeta Jacky Manuputti membisikkan kepada saya bahwa konsensus kebangsaan yang awal mula itu adalah PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945, gitu," katanya.
Terkait aktualisasi konsensus dengan konteks masa kini, Gus Yahya mengarahkan perhatian pada UUD 1945 yang sebenarnya memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut ke dalam bentuk yang lebih operasional.
Baca Juga: Pelatihan Aplikasi Coretax Polres Sukoharjo Wujudkan Pengelolaan Pajak Transparan dan Akuntabel
"Misalnya, ada pasal yang mengatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan berpendapat diatur oleh UUD. Nah, diatur dengan UU itu atas dasar nilai apa? Itu belum ada rujukannya. Ya, kita punya UU ITE, UU macam-macam perizinan ini, perizinan itu, tapi rujukan nilainya apa? Belum ada kesepakatan tentang itu," jabarnya.
Gus Yahya mengatakan, dalam UU yang mengatur penjaminan hak warga negara dalam menjalankan peribadatan, ia menilai hal itu belum juga terjabarkan dengan baik, sehingga menyebabkan kasus-kasus konflik rumah ibadah.
"Ini bagaimana menjembatani atau mengelola perbedaan-perbedaan itu," katanya.
Belum lagi, lanjut Gus Yahya, soal ekonomi yang disebutkan dalam UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kemudian, pada cabang-cabang produksi yang penting dan sifatnya dikuasai oleh negara untuk hajat hidup orang banyak.
"Tapi bagaimana misalnya dengan mi instan—mi instan yang, menurut saya, relatif sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Siapa yang nggak makan mi instan hari ini? Atau, seperti misalnya produk-produk digital yang kita gunakan, ini seperti apa? Ini belum terjabarkan."
Alhasil, Gus Yahya menjelaskan bahwa ada langkah yang bisa diambil untuk menjawab tantangan kebangsaan saat ini, yaitu dengan menjabarkan nilai-nilai dasar secara lebih operasional dalam kehidupan bermasyarakat.
"(Agar) kita ini, supaya macam-macam perbedaan yang muncul ini, ada saluran untuk menyelesaikannya sebagai jalan keluarnya. Ada, kayak kisi-kisi: ini harus diselesaikan melalui cara apa? Koridornya seperti apa?" jelasnya.