nasional

Sultan Hamengku Buwono X Ada Tiga Yang Harus Diteladani Dari Pangeran Diponegoro

Sabtu, 26 Juli 2025 | 12:27 WIB
Sultan saat sampaikan pernyataan pada media (Harminanto)

“Serat Wulangreh”, sebuah karya susastra Jawa klasik yang masyhur, menekankan etika dan laku utama seorang pemimpin. Ajaran Wulangreh menasihati agar setiap orang terutama pemimpin senantiasa memelihara watak “rèh” (sabar, menahan diri) dan “ririh” (teliti, berhati-hati). Sifat-sifat tercela seperti dusta, kikir, dan semena-mena harus dijauhi sejauh mungkin.

“Seorang pemimpin dituntut mengendalikan hawa nafsunya, antara lain dengan mengurangi kemewahan, disiplin dalam makan dan tidur demi mencapai kejernihan batin. Dengan laku spiritual seperti itu, diharapkan tiap langkah pemimpin menjadi “dêdugâ” dipertimbangkan masak-masak sebelum bertindak; “prayogâ” dilihat manfaat dan mudaratnya; “watârâ” dipikir mendalam sebelum memutuskan; dan “rêringâ” yakin benar atas keputusan yang diambil,” ujarnya.

Sementara itu, tambahnya, konsep Hamêmayu Hayuning Bawana dalam filsafat Jawa menyiratkan kewajiban insan untuk memelihara harmoni dan kelestarian alam.

Baca Juga: Kalurahan Jadi Garda Terdepan Ketahanan Pangan Sleman, Pemkab Dorong Petani Milenial hingga Beasiswa S1 Warga Kurang Mampu

Ajaran ini tertuang dalam naskah Kepemimpinan Jawa sebagai Tri Satya Brata, atau tiga amanah suci bagi pemimpin: Hamêngku Nagârâ, Hamangku Bumi, Hamêngku Buwânâ.

Dikatakan, Pangeran Diponegoro, dalam kapasitasnya sebagai putra Sultan, sangat memahami falsafah tersebut. Perang Jawa dapat dilihat sebagai manifestasi dari Tri Satya Brata: Diponegoro merasa terpanggil untuk “Hamêngku Nagârâ”, membela negeri dan rakyatnya dari ketidakadilan kolonial; sekaligus menjalankan “Hamangku Bumi” dan “Hamêngku Buwânâ” dengan membersihkan tanah Jawa dari pengaruh yang dianggap merusak tatanan moral.

“ Ia berjuang memulihkan harmoni kehidupan sesuai cara Jawa, melawan kesewenang-wenangan yang merusak hayuning bawana (keharmonisan dunia). Falsafah Jawa ini pula yang membuat perjuangan Diponegoro bersifat holistik: bukan hanya perebutan kekuasaan, melainkan ikhtiar menegakkan kemuliaan nilai-nilai,” paparnya.

Baca Juga: 10 SMP di Jogja yang Paling Banyak Loloskan Finalis OSN 2025

Sri Sultan juga menambahkan, warisan jangka panjang Perang Jawa, bagi kemajuan Yogyakarta dan bangsa Indonesia. Histori Perang Diponegoro, mengingatkan bahwa perang-perang besar selalu meninggalkan jejak mendalam pada identitas nasional, tatanan politik, dan memori kolektif masyarakat. Perang Diponegoro, sebagai konflik besar abad ke-19, tak pelak berkontribusi pada pembentukan identitas Indonesia modern, dan semangat perlawanan terhadap penjajahan.

“Di Yogyakarta sendiri, Perang Jawa menjadi babak penting yang membentuk arah sejarah daerah ini. Pasca perang, Keraton Yogyakarta berada dalam kendali lebih kuat oleh Belanda; namun benih perlawanan tidak pernah padam. Spirit Diponegoro tetap hidup di tengah rakyat,” ujarnya.

Dipaparkan, dalam bentang sejarah Nusantara, Perang Diponegoro (1825–1830) bukan sekadar pergolakan politik, melainkan manifestasi jiwa merdeka yang menolak tunduk.

“Lima tahun, yang mengubah Jawa menjadi medan pertarungan antara martabat dan penindasan, antara kearifan lokal dan keserakahan kolonial. Pangeran Diponegoro “sang pangeran-pandhita”, tampil bagai sang surya di tengah kegelapan, sebagai jiwa penggerak yang menyatukan rakyat dalam satu tekad: melawan,” katanya.

Menurut Sultan, kepemimpinannya, perpaduan spiritualitas yang dalam dan nasionalisme yang membara, sebuah upaya memulihkan kedaulatan Jawa yang tercerabut dari akarnya. Bagi Diponegoro, perlawanan ini bukan sekadar perang fisik, melainkan perang nilai, perang untuk mempertahankan hakikat keberadaan sebuah bangsa.

Pada masa itu, Hindia Belanda berusaha mengukuhkan cengkeramannya atas Jawa, baik secara politik maupun ekonomi. Belanda, bahkan merencanakan kebijakan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa, yang bertujuan mengeksploitasi pertanian Jawa demi keuntungan kolonial.

Kebijakan semacam itu, membatasi kemandirian ekonomi pribumi dan menimbulkan ketidakpuasan yang meluas. Dalam konteks penindasan inilah Perang Jawa meletus, sebagai letupan akumulasi penderitaan rakyat, dan tekad seorang pangeran untuk membela bumi pertiwi.

Halaman:

Tags

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB